Web Blog Abu Ukasyah Al-Cilacapiy

Memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman para Salafush Shaleh.

Menuju Insan Yang Bertaqwa dengan Ilmu Agama

Aqidah, Hadits, Fiqih, Mutiara hikmah Salaful Ummah.

Berbagi ilmu berasaskan ukhuwah Islamiyah

Web Blog Sarana Pengebat Ilmu dan Pendulang Pahala.

Sarana Berbagi Materi

Materi Kajian, Khutbah Jum'at dan Kultum.

Silahkan Download

Soal - soal ujian Lipia, copy rangkuman materi.

Senin, 23 Desember 2013

Onani Dilema Remaja, Menilik Hukum Syara’, Dampak Dan Solusinya

Oleh : Al-Faqir Ilallaah Abu Ukasyah Al-Cilacapiy





Salah satu perbuatan yang menyimpang, yang mengkhawatirkan perebakkannya di kalangan remaja adalah onani. Perbuatan yang tidak seyogyanya didekati oleh seorang yang ingin memelihara diri, kehormatan, dan agamanya. Perbuatan ini menjadi samar gaungnya dalam permasalahan hukum syara’, karena banyak orang yang tidak berkompeten dalam permasalahan agama, masuk kedalam ranah fatwa. Sebutlah seksolog atau yang semisalnya, yang menimbang onani tanpa landasan iman, akibatnya fatal, onani menjadi sebuah kegiatan yang dinilai lumrah dan dimaklumi, meskipun tidak semua seksolog menganggap bahwa onani itu kegiatan yang wajar dan aman.

Yang sangat disayangkan para remaja banyak yang tidak tahu hukum permasalahan onani, akibatnya mereka yang jauh dari bimbingan agama, akan dengan mudah mencomot perkataan seksolog bahwa onani selama dilakukan dengan cara yang aman tidak mengapa, atau mengambil pendapat sebagian mereka yang mengatakan  bahwa onani hukumnya mubah di dalam Islam, atau makruh, sehingga remaja yang telah terlanjur mengikuti pendapat ini dengan mudah dan tanpa perasaan bersalah melakukan perbuatan onani, sehingga setelah ia kecanduan dari onani maka ia akan sulit untuk berlepas diri darinya. Na’udzubillaahi min dzaalik.

Beranjak dari hal ini, maka sangat perlu kiranya untuk kami paparkan sedikit maklumat tentang permasalahan onani, dari definisi, perkataan ulama tentangnya, hukum syara’ yang berkaitan dengannya, dampak, serta solusi untuk keluar darinya. Mudah - mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita untuk senantiasa istiqamah di jalan yang lurus, yang diridhai oleh-Nya.

Definisi Onani
Masturbasi, onani, atau rancap adalah perangsangan seksual yang sengaja dilakukan pada organ kelamin untuk memperoleh kenikmatan dan kepuasan seksual. Perangsangan ini dapat dilakukan tanpa alat bantu ataupun menggunakan sesuatu objek atau alat, atau kombinasinya. Masturbasi merupakan suatu bentuk autoerotisisme yang paling umum, meskipun ia dapat pula dilakukan dengan bantuan pihak (orang) lain. (sumber id.wikipedia.org)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia onani didefinisikan dengan pengeluaran mani (sperma) tanpa melakukan sanggama; masturbasi.

Berkata Imam Nawawi rahimahullah :”Onani adalah upaya mengeluarkan mani dengan menggunakan tangan”. (Tahrir Alfazhi Tanbih Hal.125. Lihat Bulughul Muna Fi Hukmil Istimna, karya Asy-Syaukaniy Tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Hal. 10, Darul Shami’i, Cetakan Pertama Tahun 1414 H / 1994 M).

Berkata Dr. Shaffiy Muhammad Aliy dalam kitabnya Thibu Al-Adliy hal 433 :”Onani adalah menggosok bagian kemaluan laki-laki atau kemaluan wanita dengan tangan, atau sebagian jari, untuk mendapatkan kepuasan syahwat”. (Lihat Bulughul Muna Fi Hukmil Istimna, karya Asy-Syaukaniy Tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Hal. 10, Darul Shami’i, Cetakan Pertama Tahun 1414 H / 1994 M).

Hukum Syara’

            Sepanjang penelitian kami tidak ada dalil khusus yang menjelaskan hukum onani atau dalam bahasa Arab disebut Istimna’, namun  secara global larangan onani masuk dalam keumuman ayat - ayat berikut :


وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ 

Allah Azza Wa Jalla Berfirman : Yang artinya :”Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa”. (QS. Al-Mu’minun (23) : 5-6).


وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ.  فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ 

Allah Azza Wa Jalla berfirman :”Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al-Ma’arij (70) : 29-30)


Berkata Imam Syafi’i rahimahullah menafsirkan ayat diatas :” Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al-Ma’arij (70) : 29-30).  -Dari sini dapat dipahami bahwa- tidak halal merancap kemaluan kecuali dengan istri, atau budak - budak perempuan, dan tidak halalkan pula untuk melakukan onani -dengan tangan sendiri-“. (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Sunan Al-Kubra (7/199). Matba’ah Majlis Dairatil Ma’arif,  Cetakan Pertama 1344 H).

            Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman hafizhahullah di dalam tahqiqnya atas kitab Bulughul Muna Fii Hukmi Al-Istimna pada halaman tujuh, memberikan kesimpulan atas hukum onani dari perkataan para ulama, dan ikhtilaf yang terjadi diantara mereka :

“Dan kesimpulan dari apa yang saya berpendapat dengannya dalam permasalahan ini adalah :
1.  Apabila onani dilakukan dengan tangan istri (masuk disini budak) maka boleh dengan ijma’, dan penulis (yaitu Asy-Syaukani) juga berpendapat demikian, serta menegaskan adanya ijma’ atas hal tersebut.
2.  Apabila dilakukan dengan tangan wanita ajnabiyah (selain istri dan budak), atau laki-laki ajnabiy (selain suami) yang memasukkan jarinya dalam kemaluan wanita,  maka hukumnya haram dengan kesepakatan -para ulama-.
3.  Apabila seorang laki-laki (atau perempuan) -melakukannya sendiri- untuk memuaskan syahwatnya sebagai ganti istri, atau budak, maka hukumnya haram.
4. Apabila ia melakukannya untuk memotong gejolak syahwatnya, dan memutus libidonya, tanpa alasan -yang dharurat-, maka hukumnya haram.
5.  Apabila ia melakukannya untuk menahan kemudharatan, dalam kondisi ia akan terjatuh pada perbuatan zina, atau liwath (yang benar - benar kalau ia tidak melakukan hal itu, maka ia pasti terjatuh pada perbuatan haram tersebut), -maka dalam kondisi seperti ini onani- dibolehkan (atau dimaafkan), tentunya setelah ia berusaha melatih dirinya dengan shaum, memerangi hawa nafsunya, dan bertakwa kepada Allah semampu dirinya.
(Lihat Bulughul Muna Fi Hukmil Istimna, karya Asy-Syaukaniy Tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Hal. 7, Darul Shami’i, Cetakan Pertama Tahun 1414 H / 1994 M).

            Apabila kita mau mengamati apa yang dilakukan oleh para remaja dalam onani dengan melakukan fantasi porno, semisal melihat gambar - gambar telanjang, video - video porno, tontonan - tontonan seronok, bacaan - bacaan porno, tentunya tidak samar lagi bahwa hukum yang semisal ini adalah haram.
           

Dampak Dari Onani

            Onani adalah perbuatan dosa, meski lebih rendah tingkatannya daripada zina, tetap yang namanya perbuatan dosa akan menyebabkan hati seseorang menjadi keras, manakala dosa - dosa kecil terus menerus dilakukan, akan menyebabkan hati seorang hamba lama kelamaan menjadi keras dan terkunci. Na’udzubillahi min dzaalik.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata :”Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إن المؤمن إذا أذنب كانت نكتة سوداء في قلبه فإن تاب ونزع واستغفر صقل قلبه فإن زاد زادت فذلك الران الذي ذكره الله في كتابه
{ كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون }


"Sesungguhnya seorang hamba apabila melakukan suatu dosa maka akan di garitkan pada hatinya noktah hitam, ia akan hilang jika hamba tersebut mau beristighfar dan bertaubat, dan akan ditambahkan torehan noktah hitam tersebut jika hamba tersebut kembali berbuat maksiat, hingga menjadi legam hatinya. Itulah "Ar-Ran" sesuatu yang telah disebut oleh Allah di dalam firman-Nya :"Yang artinya :"Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka". (QS. Al-Muthaffifin (83) : 14). (HR. Tirmidzi. Beliau berkata "Hasan shahih)

Demikian pula onani adalah sebuah dosa yang akan membuka pintu dosa yang  lain, karena buah dari sebuah dosa ialah, ia akan mendatangkan dosa yang lain di waktu yang selanjutnya, apabila ia tidak mau segera bertaubat dan beristighfar.

            Berkata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah :”Termasuk dari dampak kemaksiatan ialah, bahwasanya kemaksiatan akan menumbuhkan dan melahirkan kemaksiatan - kemaksiatan yang lain, dan yang semisalnya, hingga jiwa merasa sulit untuk berlepas diri dan keluar darinya. Berkata sebagian salaf :”Termasuk kutukan dari perbuatan maksiat adalah, ia akan melahirkan perbuatan maksiat yang lain, dan termasuk pahala dari kebajikan ialah, ia akan melahirkan kebajikan yang lain”. (Lihat Ad-Da’u Wad Dawa - Ibnul Qayyim  hal. 139. Dar Alim Al-Fawaid, Tahqiq Muhammad Ajmal Al-Islahiy)

            Sudah menjadi rahasia umum bahwa ketika seorang melakukan onani maka ia akan berusaha melakukan fantasi porno, dengan menggunakan wasilah - wasilah pornografi, cukuplah mudharat pornografi dari dosa, serta ancaman siksa dihari kiamat. Namun ternyata ada mudharat lain yang menambah kemalangan bagi seorang penikmat pornografi dengan sebab fantasinya akan hal - hal berbau pornografi, na’udzubillaahi min dzaalik.

Diantara mudharat - mudharat tersebut adalah :

1.      Kecanduan konten pornografi akan menyebabkan melembaknya (meluapnya) empat hormon di dalam tubuh manusia secara tidak stabil. Keempat hormon ini jika bekerja secara normal, sejatinya akan menguntungkan kita, namun dengan candu pornografi keempat hormon ini menjadi luber hingga merusaknya, wal iyyadzubillaah. Keempat hormon tersebut adalah :

Dopamine : Hormon dopamine adalah hormon yang memicu perasaan puas dan senang, namun hormon ini menimbulkan peningkatan kebutuhan level. Misalkan, seorang yang merasa tegang, frustasi karena tidak sanggup mengerjakan soal ujian, disisi lain, waktu yang tersisa tinggal sedikit, kemudian dengan tiba - tiba ia teringat dan menemukan jawabannya, bagaimana kira - kira perasaan orang yang semisal ini?. Tentunya ia merasakan sensasi kesenangan yang luar biasa, setelah sebelumnya, ia merasa bingung dan tegang. Namun hormon ini memicu peningkatan kebutuhan level, dimana ia akan merasa puas setelah berhasil menemukan tantangan yang lebih sulit, atau lebih dahsyat dari sebelumnya. Dalam kasus pornografi, seorang yang hormon dopaminenya telah berlebihan, tidak akan pernah merasa puas dengan konten - konten pornografi yang pernah dilihatnya, ia akan terus merasa haus dengan konten - konten pornografi yang baru, hingga akhirnya ia ingin yang lebih daripada hal tersebut, seperti melakukan zina betulan, hingga taraf yang lebih parah daripada itu, semisal perilaku seks yang menyimpang, na’udzubillaahi min dzaalik.

Neuropiniphrin : Ini adalah hormon yang penting bagi seseorang untuk bisa berkosentrasi. Seorang yang sudah kecanduan pornografi, pikirannya akan selalu berkutat terhadap hal - hal yang berbau pornografi, melihat sesuatu yang sedikit saja, khayalannya akan langsung terbang membayangkan sesuatu yang seronok. Akibatnya seorang yang sudah kecanduan pornografi sulit untuk berkosentrasi terhadap pelajaran, merasa malas dalam bekerja dan belajar, malas untuk berpikir dan berkreasi, karena otaknya sudah tercemari oleh pornografi, wal iyyadzu billaah.

Serotonin : Ketika hormon serotonin keluar maka seseorang akan mengalami kepuasan, dan kesenangan sesaat. Akibatnya seseorang yang telah kecanduan pornografi dikala merasa suntuk, frustasi, atau merasa penat, ia akan langsung melampiaskannya dengan hal - hal yang berbau pornografi.

Oksitosin : Fungsi hormon oksitosin adalah membuat perasaan rindu. Ketika seseorang telah kecanduan pornografi, hormon ini akan dipaksa untuk berkerja terus menerus, sehingga akan kita dapati, orang yang telah kecanduan pornografi akan merasa rindu terhadap konten - konten pornografi, apabila ia tidak membukanya dalam waktu yang lama.

2.      Melemahkan dan merusak hafalan, terutama hafalan Al-Qur’an. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa Al-Qur’an adalah cahaya di dalam hati, bagaimana kiranya jika engkau padamkan cahaya tersebut sedikit demi sedikit dengan kemaksiatan, apa yang akan terjadi?. Tentunya hati akan menjadi gelap. Tatkala penghafal Al-Qur’an melakukan kemaksiatan ia akan mendapati sebagian hafalannya cepat hilang dan rusak, apalagi jika kemaksiatan tersebut adalah candu pornografi, yang perumpamaannya seperti air laut bagi orang yang dahaga, semakin diminum semakin ia merasa kehausan. Dua hal ini, yaitu candu pornografi dan hafalan Al-Qur’an akan saling berseberangan, tidak akan bisa berkumpul satu sama lain, oleh karenanya jika anda ingin supaya hafalan Al-Qur’an anda terjaga tinggalkanlah pornografi.

Sesungguhnya hafalan Al-Qur’an apabila ditinggalkan dalam waktu yang lama, walaupun tanpa diiringi perbuatan maksiat pun akan hilang dengan cepatnya. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

تعاهدوا القرآن فوالذي نفسي بيده لهو أشد تفصيا من الإبل في عقلها

Jagalah oleh kalian hafalan Al-Qur’an, sungguh demi Dzat yang jiwaku dalam genggamannya, hafalan Al-Qur’an itu lebih cepat lepasnya daripada unta yang ditambatkan”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka apa pendapatmu jika hal tersebut diiringi pula dengan perbuatan maksiat?. Tentunya hal tersebut akan menambah rusak hafalan Al-Qur’an, dan lebih susah dalam menghafalnya. Namun perlu diketahui adakalanya seseorang sering melakukan perbuatan maksiat, dan hal tersebut tidak mempengaruhi hafalan Al-Qur’annya sama sekali, maka ketahuilah wahai saudaraku bahwa ini dinamakan Istidraj (yaitu sebuah jalan penyesatan yang dilakukan secara berangsur - angsur tanpa disadari oleh pelakunya), Allah Ta’ala berfirman :


فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ


Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”. (QS. Al-An’aam (6) : 44)


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :


إذا رأيت الله عز و جل يعطي العبد ما يحب و هو مقيم على معاصيه فإنما ذلك له منه استدراج


Apabila engkau melihat seorang hamba diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla apa yang ia senangi, sedang ia senantiasa berada dalam kemaksiatan, maka ketahuilah bahwasanya itu adalah Istidraj baginya”. (HR. Ahmad, Baihaqiy dalam Syu’abul Iman, Thabraniy dalam Al-Ausath dan Al-Kabir)


Maka Al-Qur’an yang ia hafal justru akan menjadi hujjah atasnya, bukan menjadi hujjah baginya. Dan di hari kiamat Al-Qur’an akan menuntut dirinya, apa yang telah ia amalkan dari apa yang telah ia hafal?. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

والقرآن حجة لك أو عليك


Al-Qur’an akan menjadi hujjah bagimu (penolongmu di hari kiamat)  atau justru menjadi hujjah atasmu (penuntutmu di hari kiamat)”. (HR. Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah)


Dalam hadits yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :


إن الله يرفع بهذا الكتاب أقواما ويضع به آخرين

Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan Al-Qur’an ini sebuah kaum, dan merendahkan dengannya kaum yang lain”. (HR. Muslim)


3.  Meredupkan cahaya ilmu (maksudnya ilmu agama). Ilmu adalah cahaya, maksiat adalah kegelapan, semakin berilmu seseorang maka semakin terang hatinya, dan semakin banyak maksiat seseorang maka semakin redup hatinya. Tatkala seorang yang berilmu bermaksiat kepada Allah, maka maksiat tersebut akan menghalangi ilmunya, sehingga ia akan cepat lupa dengan apa yang telah ia pelajari, dan apa yang ia pelajari juga tidak dapat bermanfaat baginya. Oleh karenanya, jika seorang ingin apabila ilmu yang telah ia pelajari bermanfaat, menjadi sebuah kelaziman baginya untuk meninggalkan kemaksiatan, memperbanyak taubat, istighfar.

Imam Malik rahimahullah tatkala melihat kecerdasan Imam Syafi’i, dan kedalaman pemahaman beliau, mengatakan : 

إني أرى الله قد ألقى على قلبك نورا فلا تطفئه بظلمة المعصية


“Sesungguhnya aku melihat Allah telah menanamkan ke dalam hatimu cahaya, maka janganlah engkau padamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat”. (Lihat Ad-Da’u Wad Dawa - Ibnul Qayyim  hal. 132. Dar Alim Al-Fawaid, Tahqiq Muhammad Ajmal Al-Islahiy)

Imam Syafi’i tatkala tidak sengaja melihat betis perempuan tersingkap, beliau merasa sebagian kecil hafalannya telah hilang, maka beliau mengeluh kepada Waki’ bin Jarrah :


شكوت الى وكيع سوء حفظي ... فارشدني الى ترك المعاصي
وقال اعلم بان العلم فضل ... وفضل الله لايؤتاه عاصي


“Aku mengeluh kepada Waki’ akan buruknya hafalanku
                  Maka ia memberi wejangan supaya aku meninggalkan maksiat
Ia berkata :”Ketahuilah ilmu itu adalah cahaya (keutamaan)
                  Dan cahaya dari Allah tidak akan diperoleh oleh ahli maksiat”.

(Lihat Ad-Da’u Wad Dawa - Ibnul Qayyim  hal. 132. Dar Alim Al-Fawaid, Tahqiq Muhammad Ajmal Al-Islahiy)


Solusi Melepaskan Jerat Onani

1. Memilih teman yang baik
Sahabat sekalian yang senantiasa dirahmati Allah, masa remaja adalah masa yang paling rawan, dikatakan demikian karena masa remaja adalah suatu fase dalam kehidupan manusia dimana rasa ingin tahu, rasa ingin mencoba begitu kuat mendorong hati, sehingga dengan mudah seorang remaja bisa terpengaruh, terobsesi, dengan apa yang telah ia coba, bahkan kecanduan hal - hal yang telah ia coba.
Dari sini dapat kita ukur bahwa pergaulan memiliki peranan penting dalam membentuk karakter seorang remaja, karena teman bergaul akan banyak mempengaruhi seorang remaja yang masih labil perasaannya dalam setiap tindak tanduknya, apabila pengaruh tersebut adalah sesuatu yang positif maka menjadi baiklah seorang remaja, dan apabila pengaruh tersebut adalah sesuatu yang negatif maka akan menjadi jeleklah seorang remaja.

Seorang pujangga pernah bersenandung :

و اخْتَرْ مِنَ الأَصْحَابِ كُلَّ مُرْشِد ** إِنَّ القَرِينَ بِالقَرِينِ يَقْتَدِي
فَصُحْبَةُ الأَخْيَارِ لِلقَلْبِ دَوَا ** ‍تَزِيدُ لِلقَلْبِ نَشَاطَاً وَ قُوَا
و صُحْبَةُ الأَشْرَارِ دَاءٌ و عَمَى ** تَزِيدُ لِلقَلْبِ السَّقِيمِ سَقَمَا


“Pilahlah setiap yang lurus dari kawanmu untuk kau jadikan sahabat
                        Karena setiap sahabat dengan sahabatnya saling meniru
Adapun bersahabat dengan orang – orang baik, obat bagi hati
                        Menggiatkan hati dalam semangat dan kekuatan
Sedang bersahabat dengan orang – orang jelek, penyakit dan kebutaan
                        Menambah sakit bagi hati yang sakit”.


Dan yang lain pernah berkata :


عن المرء لا تسأل وأبصر قرينه ... إن القرين بالمقارن يقتدي


“Tak usah kau tanyakan jati diri seseorang, lihat saja siapa sahabatnya
                        Karena setiap sahabat dengan sahabatnya saling meniru”.

Oleh karenanya sangat penting memahamkan sejak dini kepada para remaja tentang bahayanya bergaul dengan teman - teman yang jelek perangainya. Karena teman - teman yang jelek tersebut tidaklah mencontohkan, dan mengajari kecuali perbuatan - perbuatan yang jelek, dan tercela pula.


2. Menyibukkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat. 
Sesungguhnya jiwa apabila anda tidak menyibukkannya dengan sesuatu yang bermanfaat, maka ketahuilah ia akan menyibukkan anda dengan sesuatu yang tidak bermanfaat.


3. Berdo’a supaya dijauhkan dari perbuatan maksiat. 
Semisal do’a berikut ini :


اللهم إني أسألك فعل الخيرات وترك المنكرات وحب المساكين


Ya Allah aku memohon kepada Engkau supaya dimudahkan dalam kebajikan, dimudahkan dalam meninggalkan kemungkaran, serta tanamkanlah –dalam hatiku- kecintaan terhadap orang - orang miskin”. (HR. Tirmidzi. Dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albaniy)


اللهم إني أسألك الهدى والتقى والعفاف والغنى


Ya Allah aku memohon kepada Engkau petunjuk, ketakwaan, kesucian diri, dan kecukupan”. (HR. Muslim)


1.      4. Menikah atau berpuasa
Menikah adalah solusi yang tepat bagi para pemuda yang ingin menjaga kehormatannya, dan menjaga kemaluannya dari perbuatan keji, bagi yang belum mampu berpuasa hendaknya memperbanyak untuk berpuasa, karena sesungguhnya ia merupakan sebab terjaganya kemaluan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :


يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر و أحصن للفرج و من لم يستطع فعليه بالصوم فإن الصوم له وجاء


Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian yang telah mampu menikah, maka menikahlah karena sesungguhnya dengannya ia lebih mampu untuk menundukkan pandangan, dan menjaga kemaluan, barangsiapa belum mampu maka hendaknya berpuasa, karena sesungguhnya puasa mampu menjadi tameng baginya”. (HR. Bukhari dan Muslim)


Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari perbuatan maksiat, dan menolong kita untuk senantiasa istiqamah dalam beramal shalih. Terima kasih sudah turut berbagi, mudah - mudahan bermanfaat.


Kamis, 31 Oktober 2013

Jangan Berkecil Hati Dengan Kekurangan Kita

     Oleh : Abu Ukasyah Al-Cilacapiy

   

      Setiap orang tentulah mempunyai kekurangan dan kelebihan masing - masing, ia dilebihkan oleh Allah dalam suatu perkara, sedang dalam perkara yang lain ia merasa lemah.
        Allah Maha Adil, tatkala Allah menahan sesuatu dari seorang hamba, maka di saat yang bersamaan Allah akan melebihkannya dalam suatu hal yang lain.

     Lihatlah seorang pria yang bernama Abu Tammam. Ada apa gerangan dengan dia..? Apa yang istimewa darinya, sehingga kita harus memberikan porsi ingatan kita untuk orang semisal ini..?. Abu Tammam adalah seorang pujangga Arab pada masa Dinasti Abbasiyah, dan lihatlah betapa pujangga syair Arab ini di tahan oleh Allah dalam suatu perkara, dan dilebihkan dalam hal yang lain.
     Ia diberi julukan Abu Tammam karena konon ia seorang yang memiliki sifat "tamtamah" dalam berbicara atau gagap, kesulitan dalam berbicara, sehingga dikatakan ia harus menyewa seorang pria untuk membacakan qasidahnya, syair - syairnya. Namun demikian Abu Tammam adalah seorang yang cerdas, tajam ingatannya, dan cepat dalam menyelesaikan masalah dengan idenya yang cemerlang.
     Setidaknya kisah berikut menjadi saksi kehebatan, dan kecepatan Abu Tammam dalam berpikir, menuangkan ide dan menyelesaikan masalah.
       
      Suatu ketika Abu Tammam berada dalam suatu majelis yang disitu terdapat anak Khalifah Bani Abbasiyah, Ahmad bin Mu'tashim billah. Mulailah ia menyanjung anak khalifah tersebut dengan bait - bait syair yang telah ia tulis, ia teliti, dan ia koreksi sebelumnya, dan perlu diketahui bahwa Abu Tammam termasuk seorang penyair yang ketat di dalam membuat syair - syair Arab, tidaklah ia membacakan syair di hadapan manusia kecuali ia telah benar - benar yakin bahwa ia telah membuat syair yang bagus. Tidak segan - segan ia ganti syairnya, ia hapus dan ganti bait yang baru demi mewujudkan intonasi syair yang tegas, alur yang kuat, sehingga tidak mengherankan jika bait - bait syairnya, terucap begitu kuat bagai hujan batu.
         Tidak jauh berbeda dengan majelis kali ini, ketika ia diminta untuk berkumpul dengan putra Khalifah, maka ia pun mempersiapkan syair - syair yang indah sebelumnya untuk memuji putra khalifah. Maka mulailah ia memujinya....hingga sampai perkataannya :

إقدام عمرو في سماحة حاتم
في حلم أحنف و ذكاء إياس

Berani seperti 'Amr, dermawan seperti Hatim
                                 Lembut seperti Ahnaf, dan cerdas seperti Iyyas.

(Nama - nama tersebut adalah tokoh - tokoh yang tersohor dalam sifat terpuji yang mereka miliki, sehingga orang - orang Arab menjadikan mereka sebagai sebuah perumpaan, seperti Hatim Ath-Thai' tokoh jahiliyah yang terkenal amat dermawan terhadap manusia).

Maka menyelalah Abu Yusuf Al-Kindiy tatkala mendengarnya :"Putra khalifah itu lebih utama dari mereka yang engkau sifatkan. Bagaimana mungkin kau sifati beliau dengan orang - orang yang bengal?". Mendengar pelecehan tersebut, sesaat Abu Tammam terdiam dan menunduk, untuk kemudian melanjutkan syairnya dengan lantang :

لا تنكروا ضربي له من دونه
مثلا شرودا في الندى و الباس
فالله قد ضرب الأقل لنوره
مثلا من المشكاه و النبراس

Tak perlu engkau ingkari permisalanku untuknya dengan siapa yang dibawahnya,
                                 dalam hal kedermawanan dan keperkasaan.
Karena sungguh Allah telah mempermisalkan pula cahaya-Nya sebagai perumpamaan
                                 dengan cahaya lilin dan pelita yang lebih rendah derajatnya.

(Tidaklah Allah memberikan permisalan tersebut kecuali untuk mendekatkan pemahaman manusia, bukan untuk menyamakan hakikat).

     Ketika kertas dimana bait syair Abu Tammam ditulis diberikan kepada putra khalifah, betapa terkejutnya ia karena ternyata dua bait syair diatas tidak tertulis di dalamnya, ternyata Abu Tammam mengucapkannya secara otomatis, sebagai bentuk sanggahan kepada Al-Kindiy yang langsung membisu tatkala bait tersebut diucapkan, padahal dua bait tersebut juga satu wazan, qafiyah (yaitu satu timbangan dengan bait - bait sebelumnya dimana setiap bait di akhiri dengan huruf "sin"). Hal ini tidak lain karena Allah memberikan Abu Tammam kelebihan berupa otak yang cepat tanggap dalam menyelesaikan masalah, yang dalam bahasa Arab disebut "Sarii'ul badihah".
        Saya rasa kita juga tidak jauh berbeda dengan Abu Tammam, tatkala Allah memberikan berbagai potensi yang tersembunyi dalam diri kita, sebagai kelebihan yang Allah anugerahkan untuk melengkapi kekurangan kita. Sekarang saatnya kita mencari potensi tersebut, bukan saatnya kita berkeluh kesah dengan kekurangan.


Rabu, 10 Juli 2013

Kekeliruan Yang Muncul Dalam Fatwa Kontemporer

Oleh : Ustadz Khalid Syamhudi



Allah Ta’ala menutup dakwah para Rasul dengan dakwah Rasulullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah Ta’ala memenangkan risalah beliau hingga hari kiamat nanti. Allah Ta’ala ciptakan generasi Sahabat dan Tabi’in yang bertugas menegakkan hujjah kepada manusia. Juga memerintahkan mereka untuk menjaga syariat Islam dan ber-tafaqquh fiddîn (belajar ilmu agama). Allah Ta’ala berfirman:

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَٰكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitâb dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
 (Qs. Ali Imrân/3:79)

Allah Ta’ala juga berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi Mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. 
(Qs at-Taubah/9:122)

Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala membagi mereka menjadi dua kelompok. Salah satunya diperintahkan untuk berjihad di jalan-Nya dan yang lainnya diperintahkan menuntut ilmu agama, agar kaum Muslimin dapat merujuk dan bertanya kepada mereka tentang berbagai permasalahan dien; Termasuk dalam permasalahan kontemporer (nawâzil) yang terjadi di kalangan kaum Muslimin. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
(Qs. an-Nahl/16:43)

Syarat Berfatwa Dalam Nawâzil
Tidak dipungkiri lagi ijtihâd para Ulama dalam memberikan fatwa pada masalah kontemporer (Nawâzil) sangat dibutuhkan umat ini. Apalagi permasalahan kontemporer (Nawâzil) sangat banyak dan terus bermunculan. Namun tentunya, yang bisa berbicara untuk memutuskan permasalahan ini hanyalah para ulama yang memenuhi syarat, di antaranya:
1.      Seorang mujtahid (ahli ijtihad/memiliki kemampuan untuk berijtihad-red), walaupun bukan mujtahid mutlak dan hanya bisa berijtihad dalam sebagian bidang ilmu.
2.      Harus memiliki gambaran jelas dan pemahaman yang benar terhadap permasalahan yang akan dijadikan sebagai obyek ijtihadnya.
3.      Dalam menetapkan hukum, dia bersandar pada dalil syar’i yang mu’tabar (yang dibenarkan).
Beberapa Kekeliruan yang Sering Ditemui Dalam Fatwa Kontemporer
Para Ulama yang berfatwa dalam masalah Nawâzil terkadang keliru walaupun secara kuantitas tiga syarat di atas sudah terpenuhi. Kekeliruan tersebut bertingkat-tingkat, tidak sama, ada yang jelas dan ada yang samar. Berikut ini beberapa kekeliruan yang samar dalam fatwa nawazil:
1. Penguraian permasalahan ke dalam elemen-elemen pembentuknya dengan memberikan hukum khusus satu persatu tanpa melihat hasil yang ada apabila digabung dan disusun.
Sebagai contoh: Jual beli murâbahah. (Apa itu murabahah – nusadi?) (jual beli) yang tersusun dari tiga akad yaitu akad wakâlah (perwakilan), akad Muwâ’adah bisy-Syirâ’ (janji membeli) dan akad jual beli kredit. Ketiga akad ini sah dan dibenarkan. Berdasarkan hal ini maka jual beli murâbahah adalah akad yang shahîh.
Inilah yang disampaikan orang yang mensahkan jual beli ini, tanpa menengok kepada pengertian baru yang muncul ketika ketiga akad itu disatukan.
Sedangkan Ulama yang melarangnya, berpendapat bahwa walaupun jual beli murâbahah ini terbentuk dari tiga akad tersebut, namun keadaan dan faktor pendorong pengadaan dan penyebarannya menunjukkan akad ini salah satu diantara upaya merekayasa riba.
Karena penjual -yaitu bank pembiaya- ingin meminjamkan uang kepada pembeli dengan mendapatkan profit (bunga), demikian juga pembeli, dia ingin meminjam uang dari bank dengan memberi bunga. Barang yang ada hanya dijadikan rekayasa hingga berubah bentuk menjadi pinjaman dengan bunga yang kemudian dinamakan jual beli murâbahah.
Contoh lainnya: Fatwa sebagian Ulama tentang al-Ijârah al-Muntahiyah bit-tamlîk (finance leasing). Ada yang menyatakannya sebagai adalah akad yang sah, karena tersusun dari ijârah (sewa menyewa), jual beli (Bai’) atau pemberian (Hibah). Ijârah jelas disepakati kebolehannya. Kemudian apabila masa ijârah (sewa menyewa) telah selesai, maka pemilik barang memiliki kebebasan penuh untuk menjual barangnya atau menghibahkannya kepada siapa yang ia sukai atau tetap menahan barang itu sebagai miliknya. Tidak ada yang mampu mencegah pemilik barang dari kebebasannya mengelola barang miliknya, mau dijual atau dihibahkan.
Bukan maksud di sini memaparkan pendapat yang membolehkan atau yang melarang dalam masalah ini atau lainnya. Tetapi hanya mengingatkan tentang pentingnya mengkompromikan antara tinjauan secara menyeluruh (an-Nazhar al-Kulli al-Ijmâli) dengan tinjauan secara rinci (an-nazhar al-Juz’i at-tafshîli) ketika hendak menetapkan satu hukum pada sebuah nawazil. Juga hendak menjelaskan bahwa membatasi hanya dengan salah satu sisi tinjauan saja dapat menjerumuskan pada kesalahan.
Sudah menjadi kewajiban seorang ulama ahli fikih untuk melihat dengan teliti permasalahan dan akad transaksi kontemporer dan memahami hakekatnya serta meninjau akibat yang ditimbulkannya.
2. Berkelit dari realita.
Banyak mufti yang apabila ditanya tentang masalah kontemporer, dia menjawab dengan menerangkan hukum masalah tersebut dari sisi hukum asal, kemudian menyampaikan syarat-syarat hukumnya. Padahal pada kenyataannya syarat tersebut sangat sulit dilaksanakan.
Contoh: Sebagian mufti (ahli fatwa) ketika ditanya tentang hukum finance leasing (al-Ijâr al-Muntahiyah bit-Tamlîk) menjawab bahwa itu boleh. Tetapi penanya melanjutkan lagi bahwa mereka mengharuskan asuransi. Maka sang mufti menjawab: jangan kamu setuju dengan asuransinya; ambil saja mobilnya tanpa asuransi dan asuransinya tidak mengikat.
Mufti ini seharusnya memperjelas gambaran yang ada dalam praktek. Semua finance leasing (ijârah al-muntahiyah bit-Tamlîk) dalam praktek ternyata berisi asuransi.
Semestinya ia menjelaskan, finance leasing dengan syarat mengikuti asuransi itu boleh atau tidak ? kemudian setelah itu dia bisa memberikan penjelasan tambahan bahwa finance leasing itu boleh dilakukan bila sudah memenuhi beberapa syarat. Dilanjutkan dengan penjabaran syarat-syarat tersebut. Bila syarat-syarat tersebut dilanggar, maka hukumnya begini dan begitu.
Contoh lain: Seorang ditanya tentang hukum berpartisipasi dalam kompetisi sepak bola, lalu dia menjawab bahwa pada asalnya hal itu diperbolehkan, kecuali bila terdapat hal-hal yang larangan syari’at.
Perhatikanlah jawaban ini, tidak sesuai dengan pertanyaannya. Pertanyaan penanya tersebut tidak lepas dari realita yang terlihat di lapangan. Kompetisi ini tidak lepas dari berbagai pelanggaran syari’at seperti membuang-buang waktu, membuka aurat, kerusakan akhlak, menghabiskan umur dan membuang-buang harta. Hal-hal ini jelas bertentangan dengan maqâshid syari’at (tujuan syariat) dari banyak sisi.
Kemudian juga, si penanya tidak menanyakan hukum asal. Seandainya si penanya menanyakan hukum asal, maka si mufti seharusnya mengingatkan si penanya tentang realita yang terjadi di lapangan setelah menjelaskan hukum asalnya.
Kesimpulannya seorang mufti sebaiknya tidak menjawab dengan cara di atas dan berusaha untuk memperhatikan dua perkara:
·         Menjelaskan bentuk realitanya dan tidak lupa menjelaskan hukumnya; karena tidak menjelaskan kenyataan atau berkelit darinya adalah kekeliruan yang berbahaya.
·         Menyampaikan hukum asal dengan penjelasan ketentuan dan syarat-syarat yang mencakup kemungkinan bentuk-bentuk lain dari yang telah ada dan yang akan ada.
Fatwa yang memenuhi dua hal ini akan menjadi lebih jelas dan baku.
1. Permasalahan istilah dan bahasa yang umum.
Merupakan satu keniscayaan ketika hendak menetapkan hukum terhadap satu masalah kontemporer untuk melihat hakekat permasalahannya, tidak silau dengan nama-nama atau pun istilahnya. Karena hukum syara’ hanya berhubungan dengan hakekat dan pengertian, bukan dengan lafadz dan susunan kata.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa bermain dengan istilah-istilah agama menjadi fenomena pada banyak transaksi-transaksi yang tidak benar dewasa ini. Buktinya, bila menilik seluruh transaksi yang muncul dari bank-bank syari’at atau konvensional, tidak ada pelayanan yang menggunakan nama riba secara terang-terangan. Namun, apakah ini menunjukkan bahwa seluruh transaksi tersebut bebas dari riba?
Perhatikanlah pula pengorbanan dan keberanian yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin Palestina yang lemah saat berhadapan dengan orang-orang yahudi, musuh kaum Muslimin. Sebagian mereka menamakannya ‘amaliyah istisyhadiyyah (usaha untuk mendapatkan mati syahid-red), sementara sebagian yang menamainya dengan ‘amaliyah intihariyyah (perbuatan bunuh diri-red).
Padahal setiap penamaan memiliki makna tersendiri. Yang menjadi problem dalam pemberian nama yaitu ketika tidak peduli dengan makna dan kandungan nama itu. Tidak logis, kalau kita menghukumi perbuatan diatas dengan hukum haram sementara pada saat yang sama kita menamainya dengan ‘amaliyah istisyhadiyyah. Sebaliknya, bagaimana bisa perbuatan itu dihukumi sesuai dengan syari’at, sementara dia digelari ‘amaliyah intihariyyah. Kaedah baku dan standar dalam hal ini adalah sedapat mungkin menggunakan nama-nama syar’i dalam penamaan seluruh perkara.
Namun bila ada permasalahan yang baru dan tidak ada nama yang syar’i untuknya, maka wajib menamainya dengan nama yang dikenal secara bahasa, yang pas dan yang menunjukkan hakekat permasalahan tersebut.
2. Tidak cermat dalam melihat perkembangan dan perubahan nawâzil.
Ini termasuk kesalahan karena hakekat nawâzil terkadang mengalami sedikit perubahan dan pergeseran. Perubahan ini terkadang merubah hakekat nawâzil secara keseluruhan dari hakekat sebelumnya. Meski terjadi perubahan, namun istilah nawâzil tetap melekat pada keduanya, baik seblum ataupun setelah terjadi perubahan.
Memberikan fatwa hanya berdasarkan gambaran pertama dari suatu permasalahan pada suatu kejadian akan melahirkan tashawwur (gambaran) yang keliru dan kesalahan dalam memahaminya (miss understanding).
Kalau demikian, orang yang ingin memahami kejadian tersebut secara sempurna, sudah seharusnya terus meng-update informasi tentangnya. Khususnya pada zaman ini, dimana perubahan itu begitu cepat terjadi.
Sudah dimaklumi bahwa sebuah fatwa bisa berubah seiring dengan perubahan waktu, tempat dan keadaan serta adat yang berlaku. Dari sini sudah seharusnya seorang mufti memperhatikan waktu, tempat, kondisi dan keadaan yang berhubungan dengannya, serta adat yang berlaku dalam hukumnya terhadap satu permasalahan kontemporer.
Untuk itu, kewajiban mufti dalam urusan kontemporer ini adalah menjelaskan bentuk masalahnya dan hukumnya serta memberikan batasan hukum terhadap masalahnya secara khusus, serta memperhatikan sumber hukumnya. Akan lebih baik lagi bila diberikan tanggal keluarnya fatwa tersebut.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah sikap Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’dirahimahullah dalam salah satu fatwanya. Beliau rahimahullah menyampaikan, sebagian Ulama terdahulu telah berfatwa bahwa seorang wanita apabila meninggal dunia dalam keadaan mengandung bayi yang masih hidup, maka dilarang membedah perutnya untuk mengeluarkan bayinya. Karena ini termasuk al-mutslah (merusak jenazah/mayat). Kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan komentar : “Namun pada masa-masa terakhir ini, ilmu bedah telah berkembang pesat dan akhirnya membedah perut atau sebagian anggota badan tidak lagi dianggap al-mutslah. Mereka bisa melakukannya terhadap orang yang masih hidup dengan keridhaan dan keinginan terhadap beraneka ragam sistem pengobatan. Sehingga saya cenderung seandainya para ahli fikih terdahulu menyaksikan keadaan ini tentu mereka akan memperbolehkan membedah perut orang hamil, dengan sebab keberadaan bayinya yang masih hidup dan demi mengeluarkannya. Khususnya bila masa hamil sudah usai dan diketahui atau besar kemungkinan bayinya akan bisa diselamatkan.”
Setelah menyampaikan kecenderungan beliau, syaikh Abdurrahman Nashir as-sa’di rahimahullah mengatakan: “al-mutslah yang mereka jadikan sebagai alasan untuk melarang tindakan ini menunjukkan asumsi ini.” [2]

1. Cenderung mempermudah dan meringankan fatwa, tanpa memperhatikan maqâshid syari’at.
Anggapan mereka bahwa inilah yang paling sesuai dengan keadaan manusia di zaman ini. Karena (kebanyakan-red) manusia saat ini tidak lagi berpegang teguh dengan hukum-hukum agama dan sibuk dengan gemerlap kehidupan. Untuk itu, harus dilakukan upaya pendekatan agama kepada mereka yang berjiwa lemah dan yang lainnya, supaya mereka bisa menerima dan mencari hukum-hukum syara’. Ini upaya yang wajib dilakukan. namun pendapat yang memberikan kemudahan tersebut harus memiliki dasar kuat yang menopangnya berupa nash atau qiyas atau pendapat imam ahli fikih yang diikuti.
Di antara contohnya adalah fatwa sebagian Ulama yang membolehkan seorang wanita bepergian haji dengan teman-teman yang dipercaya tanpa mahram. [3]
2. Kecenderungan untuk memperberat dan melarang tanpa memperhatikan maqâshid syari’at.
Dengan asumsi ini lebih hati-hati dan cocok dengan keadaan sebagian kaum Muslimin yang sering meremehkan dan tidak mau melaksanakan tugas-tugas syari’at. Terkadang sikap meremehkan ini pada akhirnya bisa menyeret seseorang meninggalkan aturan-aturan agama sama sekali.
Di antara contohnya adalah fatwa sebagian Ulama yang menyatakan tidak boleh melempar jumrah di malam hari, juga fatwa yang menyatakan bahwa bayi tabung hukum haram secara mutlak.
3. Berhujjah dengan fatwa sekelompok Ulama (al-Iftâ` al-Jamâ`i) dan merasa cukup denganya serta menjadikannya sebagai dalil tanpa merasa butuh dengan yang lain.
Yang dimaksud dengan al-Iftâ` al-Jamâ`i adalah semua fatwa dan ketetapan ataupun penjelasan dikeluarkan oleh sebagian al-Majâmi’ (konferensi) dan lajnah ilmiyah. Terkait dengan hal ini, ada beberapa point penting yang perlu diperhatikan:
a. Tidak disangsikan lagi bahwa fatwa yang bersumber dari banyak Ulama lebih pantas untuk diterima dibandingkan fatwa perorangan.
Perlu dibedakan antara fatwa yang dikeluarkan sebuah lajnah fatwa yang terdiri dari sejumlah mufti dengan ijma’ (kesepakatan-red) para ulama. Perlu diketahui juga bahwa ifta’ jama’i tidak bisa mencapai derajat ijma’, baik dari sisi kekuatan hujjahnya ataupun segi kesepakatannya. Sebab fatwa dari konferensi dan badan ilmiyah dunia tersebut adalah hasil pemikiran fikih yang dirangkai disusun dari berbagai penelitian, karya tulis dan sensus lapangan. Jelas ketetapan konferensi dengan tinjauan ini lebih baku dan teliti secara fikih daripada fatwa sekelompok Ulama. Fatwa sekelompok Ulama jelas – karena banyaknya mereka – memberikan perasaan lebih tenang dan tentram dibanding fatwa perorangan. Inilah tiga tingkatan fatwa kontemporer, yang tertinggi adalah ketetapan konferensi, kemudian fatwa sekelompok Ulama, kemudian fatwa perorangan.
b. Harus membedakan antara fatwa yang disampaikan mayoritas Ulama dengan adanya Ulama yang menyelisihinya dengan masalah Ijmâ’. Juga mengetahui bahwa fatwa sekelompok Ulama tidak sampai pada martabat ijmâ’ dalam peran sebagai hujjah dan kesepakatan.
c. Kelemahan fatwa secara berjama`ah kadang terjadi karena tekanan fihak tertentu dan biasanya tidak memiliki sarana iklan (penyampaian-red) yang sesuai.
d. Terkadang pendapat yang dikeluarkan konferensi (al-Majma’) adalah pendapat minoritas, walaupun dikeluarkan dengan kesepakatan mereka semuanya. Sebab tidak semua Ulama dunia bisa ikut serta dalam konferensi tersebut.
e. Di antara ide yang sering dilontarkan yaitu membentuk perkumpulan para Ulama dunia yang independen, tidak berada di bawah satu kekuatan atau satu pemerintahan. Perkumpulan ini yang akan mempelajari dan meneliti masalah-masalah kontemporer yang terjadi di tengah umat dengan tanpa tekanan dari fihak manapun.
1. Berhujjah dengan fatwa perorangan dan mengamalkannya serta pasrah kepadanya. Yang dimaksud dengan fatwa perorangan (al-Iftâ` al-Fardi) adalah fatwa dan ketetapan yang keluar dari seorang Ulama.
Dalam hal ini ada beberapa point penting:
·         Fatwa perorangan adalah penyempurna dan berasal dari fatwa kelompok (al-Iftâ al-Jamâ’i).
·         Kebenaran terkadang ada pada satu individu bukan pada mayoritas. Ini adalah perkara yang sudah ditetapkan oleh syara’ dan nyata.
·         Sebagian fatwa mufti tidak dianggap. Karena, terkenal suka meremehkan suatu permasalahan dan mengikuti hawa nafsu.
·         Pendapat seorang mufti atau lebih, kadang tersiarkan dan tersebar luas hingga orang menyangka ini adalah pendapat mayoritas, padahal sebenarnya tidak demikian.
Demikian sebagian kekeliruan yang nampak dalam banyak fatwa kontemporer, semoga menjadi pencerahan bagi kita semua.
Footnotes:
[1] Diangkat dari kitab Fikih Nawâzil 1/68-77.
[2] Fatâwa as-Sa’diyah hlm 189-190.
[3] Fatwa ini nampaknya memberikan kemudahan pada manusia, padahal sebenarnya malah sebaliknya, jika kita melihat kepadatan jamaah haji yang sangat beresiko menimbulkan berbagai bahaya bagi sebagian jamaah haji bahkan bisa menyebabkan kematian. Khususnya bagi mereka yang lemah seperti jompo, orang sakit dan wanita.
Dengan cara pandang ini, kalau ingin memberikan kemudahan bagi kaum wanita mestinya mereka dilarang berhaji tanpa ada mahram yang menjaga mereka. Dengan kata lain, bukankah pelarangan wanita berhaji tanpa mahram akan mengakibatkan berkurangnya kepadatan dan memperkecil jumlah jamaah haji?