Jumat, 05 Juli 2013

Bagaimanakah Kredit Yang Sesuai Syari'at?

Oleh : Al-Faqir Ila Allah Abu Ukasyah Al-Cilacapiy



Adalah sebuah hal yang tidak bisa terelakkan lagi keberadaannya pada dewasa ini  sistem jual beli dengan cara perkreditan (Leasing), hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap barang - barang yang notabenenya tergolong mahal yang kemudian menjadikan perusahaan penjual barang menawarkan sistem perkreditan kepada konsumen, dimana konsumen membeli barang dengan cara mengangsur dalam tempo tertentu, tentunya sistem ini menjadikan daya beli masyarakat terhadap barang - barang tersebut semakin meningkat karena mereka merasa dimudahkan untuk bisa segera memiliki dan memakai barang tersebut walau dengan bugdet awal yang minim. Maka dengan ditunjangnya fakta ini perusahaan - perusahaan leasing pun semakin menggeliat pertumbuhannya dalam menawarkan jasa perkreditan.
Untuk itulah sebagai seorang muslim yang senantiasa berusaha mengamalkan hukum - hukum syari'at Islam tentunya kita akan bertanya, bagaimanakah kiranya hukum jual beli dengan sistem perkreditan didalam syari'at Islam? Pertanyaan inilah yang mengajak kami untuk memaparkan hukum - hukum yang berkenaan dengan sistem perkreditan tersebut disini, dengan kedangkalan pemahaman dan minimnya ilmu yang kami miliki, maka kami memohon taufiq dan pertolongan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sekiranya Allah memudahkan kami dalam menulis dan menyusunnya, sesungguhnya Dia Dzat Yang Maha Mengabulkan do'a.

Hukum Jual Beli Dengan Sistem Kredit (Leasing) 
Secara global sistem perkreditan pada saat ini bisa kita kategorikan menjadi dua macam, yang pertama adalah sistem perkreditan langsung tanpa perantara dan yang kedua adalah sistem perkreditan tidak langsung dengan menggunakan perantara, untuk lebih jelasnya sebagai berikut.
I. Sistem perkreditan langsung
            Sistem perkreditan langsung adalah sebuah transaksi perkreditan yang dilakukan secara langsung oleh pemilik barang (penjual) dengan pembeli tanpa adanya campur tangan dengan pihak ketiga. Akad seperti ini diperbolehkan didalam syari'at walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dari harga kontan, permisalannya adalah Bapak A membeli sebuah sepeda motor dari Bapak B secara kredit dengan harga 15 juta, padahal jika ia membelinya secara tunai maka ia bisa mendapatkannya dengan harga 12 juta. Adapun dalil yang menunjukan kebolehan transaksi seperti ini adalah :
  1. Keumuman firman Allah Azza Wa Jalla : Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar" (QS. Al-Baqarah (2) : 282). Ayat ini adalah salah satu dalil yang membolehkan praktek hutang - piutang sedangkan kredit adalah termasuk salah satu bentuk hutang - piutang maka hukum transaksi perkreditan masuk kedalam keumuman ayat ini.
  2. Dari 'Aisyah Radhiallahu 'Anha :"Rasulullah membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan menunda pembayaran dan beliau menggadaikan perisainya sebagai jaminan hutangnya". (HR. Bukhari No.2092, Muslim No.3008, Nasa'i No.4530). Pada hadits tersebut Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam membeli bahan makanan dengan cara dihutang sebagai jaminannya beliaupun menggadaikan perisainya, dengan demikian hal ini sangat jelas menunjukan tentang kebolehannya sistem perkreditan itu, karena sistem perkreditan pada hakikatnya merupakan sistem pembelian dengan pembayaran dihutang.
  3. Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma berkata :“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash dengan perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al –Albani). Hadits tersebut menunjukan bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan harga dua unta dari harga satu unta, yang mana hal ini sangat kuat mengindikasikan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan penambahan dengan ditangguhkannya pembayaran, dengan asumsi bahwa seorang yang memiliki uang untuk membayar harga tunai dari suatu barang tentu tidak ingin membeli harga barang tersebut dengan harga mahal, terlebih lagi dua kali lipat dari harga wajar, seperti yang termaktub di dalam hadits.
  4. Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :"Barangsiapa membeli barang dengan sistem pemesanan (Salam), maka hendaknya ia memesannya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan waktu yang jelas pula". (HR. Bukhari No. 2086, Muslim No.3010, Abu Dawud No.3004). Sistem jual beli dengan cara pemesanan (Salam) adalah termasuk sistem jual beli yang diperbolehkan, sistem ini merupakan kebalikan dari sistem perkreditan, dimana pembeli memesan sebuah barang dengan pembayaran dimuka tetapi beserta pengakhiran penyerahaan barang, namun didalam hadits ini Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang secara langsung, maka dengan demikian sistem perkreditan masuk kedalam keumuman hadits ini, dimana boleh bagi seseorang menambahkan harga penjualan barang secara kredit dari harga tunai.
Adapun sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam :"Barangsiapa yang menjual dua harga penjualan dalam satu penjualan maka baginya untuk mengambil harga yang terkecil, jika tidak maka ia telah terjerembab kedalam riba" (HR. Abu Dawud No.3002, Hakim No.2292. Dihasankan oleh syaikh Albani dalam Al-Irwa). Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ini adalah dasar dari dilarangnya sistem perkreditan, namun yang lebih mendekati kebenaran adalah apa yang telah dijelaskan oleh Ibnul Qayim dalam I'lamul Muwaqi'in (3/171) bahwa hadits ini menunjukan larangan jual beli dengan sistem 'Inah, yaitu seseorang menjual barang kepada orang lain dengan pembayaran dihutang kemudian setelah barang diserahkan segera ia membeli kembali barang tersebut secara tunai dengan harga lebih murah.

II. Sistem perkreditan tidak langsung
            Sistem perkreditan tidak langsung adalah sistem perkreditan yang melibatkan pihak ketiga didalamnya. Sebagai permisalan adalah Bapak B membeli sebuah mobil di showroom secara kredit dengan harga 30 juta sedangkan harga tunainya adalah 27 juta, maka ia diminta untuk menandatangani seberkas formulir dan diminta untuk memberikan uang muka atau barang sebagai jaminan, setelah akad selesai Bapak B pun pulang kerumah dengan membawa mobil tersebut, maka sebagai konsekuensinya Bapak B berkewajiban membayar cicilan tersebut ke perusahaan leasing atau bank yang ditunjuk sebelumnya sesuai kesepakatan dan bukan pada showroom tadi. Keberadaan pihak ketiga ini menuai pertanyaan, kenapa Bapak B harus membayar cicilannya disana bukan kepada showroom? Ya, karena showroom tersebut sebelumnya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak bank atau perusahaan leasing, yang berjanji akan menunaikan haknya untuk membayar harga kontan (27 juta) dari mobil tadi seusai Bapak B mengisi formulir, dengan begitu Bapak B secara otomatis menjadi nasabah dari perusahaan tersebut serta berkewajiban melunasi hutangnya sebanyak 30 juta.
            Jika dilihat dari hakikatnya maka kita bisa menafsirkan praktek tersebut dengan dua penafsiran berikut ini :
  1. Penafsiran pertama : Bank telah menghutangi Bapak B 27 juta yang kemudian langsung bank bayarkan ke showroom selepas pengisian formulir, dan disaat yang sama Bapak B berkewajiban mengembalikan hutangnya sebanyak 30 juta kepada Bank, berdasarkan hal ini maka praktek ini bisa dikategorikan sebagai riba nasi'ah, padahal Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam telah melaknat pelaku riba sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiallahu 'Anhu :"Rasulullah melaknat pemakan riba, pembayarnya, penulisnya dan dua orang saksinya" (HR. Muslim No.2995, Abu Dawud No.2895).
  2. Penafsiran kedua : Bank telah membeli mobil tersebut dari showroom dengan harga 27 juta dan menjualnya kembali kepada Bapak B dengan harga 30 juta, namun jika penafsiran ini benar sekalipun sesungguhnya bank telah menjual mobil tersebut kepada Bapak B sebelum mobil tersebut dipindahkan dari showroom ke tangan bank, sehingga bank dikategorikan telah menjual mobil tersebut sebelum kepemilikannya secara penuh. Sebagai buktinya surat menyurat mobil tersebut langsung dituliskan dengan nama Bapak B dan bukan atas nama bank. Mengenai sistem seperti ini Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda :"Barangsiapa membeli bahan makanan maka janganlah menjualnya sebelum ia memilikinya secara penuh" (HR. Bukhari No.1989, Muslim No.2808). Dan juga didalam sebuah riwayat dari Ibnu Umar bahwasanya ia berkata :"Suatu ketika saya membeli minyak dipasar, begitu saya selesai membelinya datanglah seorang laki-laki menawar minyak saya dengan penawaran yang tinggi, maka spontan saja saya ingin segera menyalami orang tadi guna menerima tawarannya, tiba-tiba  ada seseorang yang memegang lengan saya dari belakang setelah saya menoleh ternyata itu Zaid bin Tsabit sembari berkata :"Janganlah engkau menjualnya hingga engkau memindahkan minyak ini, karena Rasulullah  Shalallahu 'Alaihi Wasallam melarang penjualan suatu barang ditempat barang itu dibeli sehingga barang itu dipindahkan ketempat pembeli" (HR. Abu Dawud No.3036, Hakim No.2271. Dihasankan oleh syaikh Albani). Dan salah satu hikmah dibalik pelarangan ini adalah karena orang yang menjual barang ditempat ia membeli sebenarnya telah menjual uang dengan uang tetapi dengan penundaan barang.
Dengan begitu sistem perkreditan tidak langsung dengan campur tangan pihak ketiga adalah sistem yang telah keluar dari koridor syari'at dan tidak seyogyanya seorang muslim bertransaksi dengan sistem seperti ini.
Solusi Kredit Yang Aman
            Sebagai solusi dari perkreditan tidak secara langsung yang tidak dibenarkan dalam syari'at adalah kita melakukan transaksi perkreditan dengan sistem langsung yang telah kami jelaskan dimuka, atau kita bisa meminta kepada seorang pengusaha untuk membelikan suatu barang kepada kita, setelah barang tersebut berpindah kepemilikan kepadanya maka kita membeli barang tersebut darinya secara kredit namun hal ini dibolehkan dengan tiga syarat :
  1. Tidak ada kewajiban mengikat dari dua belah pihak sebelum pengusaha memiliki barang tersebut.
  2. Pembeli tidak mempunyai kewajiban untuk menanggung kerusakan barang akan tetapi hal itu tetap menjadi tanggung jawab pengusaha.
  3. Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah pengusaha memiliki barang tersebut secara penuh.
Dan apabila sistem seperti ini pun sulit ditemukan maka hendaknya kita bersabar untuk bisa membeli barang yang kita inginkan secara tunai tentunya dengan menabung terlebih dahulu. Allah Azza Wa Jalla berfirman : Artinya :"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya" (QS. Ath-Thalaq (65) : 2-3).
  
 Berbagai sumber. 

0 komentar:

Posting Komentar

Mohon kesediaannya untuk menggunakan kata - kata yang santun