Oleh : Ustadz Khalid Syamhudi
Allah Ta’ala menutup
dakwah para Rasul dengan dakwah Rasulullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
Allah Ta’ala memenangkan risalah beliau hingga hari kiamat nanti. Allah Ta’ala
ciptakan generasi Sahabat dan Tabi’in yang bertugas menegakkan hujjah kepada
manusia. Juga memerintahkan mereka untuk menjaga syariat Islam dan ber-tafaqquh
fiddîn (belajar ilmu agama). Allah Ta’ala berfirman:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ
أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ
لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَٰكِنْ كُونُوا
رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ
تَدْرُسُونَ
Hendaklah kamu menjadi
orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitâb dan disebabkan
kamu tetap mempelajarinya.
(Qs. Ali Imrân/3:79)
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَمَا كَانَ
الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا
فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi
Mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.
(Qs at-Taubah/9:122)
Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala
membagi mereka menjadi dua kelompok. Salah satunya diperintahkan untuk berjihad
di jalan-Nya dan yang lainnya diperintahkan menuntut ilmu agama, agar kaum
Muslimin dapat merujuk dan bertanya kepada mereka tentang berbagai permasalahan
dien; Termasuk dalam permasalahan kontemporer (nawâzil) yang terjadi di
kalangan kaum Muslimin. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ
قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ
لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
(Qs. an-Nahl/16:43)
Syarat Berfatwa Dalam Nawâzil
Tidak dipungkiri lagi ijtihâd para Ulama dalam
memberikan fatwa pada masalah kontemporer (Nawâzil) sangat dibutuhkan umat ini.
Apalagi permasalahan kontemporer (Nawâzil) sangat banyak dan terus bermunculan.
Namun tentunya, yang bisa berbicara untuk memutuskan permasalahan ini hanyalah
para ulama yang memenuhi syarat, di antaranya:
1. Seorang
mujtahid (ahli ijtihad/memiliki kemampuan untuk berijtihad-red), walaupun bukan
mujtahid mutlak dan hanya bisa berijtihad dalam sebagian bidang ilmu.
2. Harus
memiliki gambaran jelas dan pemahaman yang benar terhadap permasalahan yang
akan dijadikan sebagai obyek ijtihadnya.
3. Dalam
menetapkan hukum, dia bersandar pada dalil syar’i yang mu’tabar (yang
dibenarkan).
Beberapa Kekeliruan yang Sering Ditemui
Dalam Fatwa Kontemporer
Para Ulama yang berfatwa dalam masalah Nawâzil
terkadang keliru walaupun secara kuantitas tiga syarat di atas sudah terpenuhi.
Kekeliruan tersebut bertingkat-tingkat, tidak sama, ada yang jelas dan ada yang
samar. Berikut ini beberapa kekeliruan yang samar dalam fatwa nawazil:
1. Penguraian permasalahan ke dalam
elemen-elemen pembentuknya dengan memberikan hukum khusus satu persatu tanpa
melihat hasil yang ada apabila digabung dan disusun.
Sebagai contoh: Jual beli
murâbahah. (Apa itu murabahah – nusadi?) (jual beli) yang tersusun dari tiga
akad yaitu akad wakâlah (perwakilan), akad Muwâ’adah bisy-Syirâ’ (janji
membeli) dan akad jual beli kredit. Ketiga akad ini sah dan dibenarkan.
Berdasarkan hal ini maka jual beli murâbahah adalah akad yang shahîh.
Inilah yang disampaikan orang yang mensahkan jual beli
ini, tanpa menengok kepada pengertian baru yang muncul ketika ketiga akad itu disatukan.
Sedangkan Ulama yang melarangnya, berpendapat bahwa
walaupun jual beli murâbahah ini terbentuk dari tiga akad tersebut, namun
keadaan dan faktor pendorong pengadaan dan penyebarannya menunjukkan akad ini
salah satu diantara upaya merekayasa riba.
Karena penjual -yaitu bank pembiaya-
ingin meminjamkan uang kepada pembeli dengan mendapatkan profit (bunga),
demikian juga pembeli, dia ingin meminjam uang dari bank dengan memberi bunga.
Barang yang ada hanya dijadikan rekayasa hingga berubah bentuk menjadi pinjaman
dengan bunga yang kemudian dinamakan jual beli murâbahah.
Contoh lainnya: Fatwa sebagian
Ulama tentang al-Ijârah al-Muntahiyah bit-tamlîk (finance leasing). Ada
yang menyatakannya sebagai adalah akad yang sah, karena tersusun dari ijârah
(sewa menyewa), jual beli (Bai’) atau pemberian (Hibah). Ijârah jelas
disepakati kebolehannya. Kemudian apabila masa ijârah (sewa menyewa) telah
selesai, maka pemilik barang memiliki kebebasan penuh untuk menjual barangnya
atau menghibahkannya kepada siapa yang ia sukai atau tetap menahan barang itu
sebagai miliknya. Tidak ada yang mampu mencegah pemilik barang dari
kebebasannya mengelola barang miliknya, mau dijual atau dihibahkan.
Bukan maksud di sini memaparkan pendapat yang
membolehkan atau yang melarang dalam masalah ini atau lainnya. Tetapi hanya
mengingatkan tentang pentingnya mengkompromikan antara tinjauan secara
menyeluruh (an-Nazhar al-Kulli al-Ijmâli) dengan tinjauan secara rinci
(an-nazhar al-Juz’i at-tafshîli) ketika hendak menetapkan satu hukum pada sebuah
nawazil. Juga hendak menjelaskan bahwa membatasi hanya dengan salah satu sisi
tinjauan saja dapat menjerumuskan pada kesalahan.
Sudah menjadi kewajiban seorang ulama ahli fikih untuk
melihat dengan teliti permasalahan dan akad transaksi kontemporer dan memahami
hakekatnya serta meninjau akibat yang ditimbulkannya.
2. Berkelit dari realita.
Banyak mufti yang apabila ditanya tentang masalah
kontemporer, dia menjawab dengan menerangkan hukum masalah tersebut dari sisi
hukum asal, kemudian menyampaikan syarat-syarat hukumnya. Padahal pada
kenyataannya syarat tersebut sangat sulit dilaksanakan.
Contoh: Sebagian mufti
(ahli fatwa) ketika ditanya tentang hukum finance leasing (al-Ijâr
al-Muntahiyah bit-Tamlîk) menjawab bahwa itu boleh. Tetapi penanya melanjutkan
lagi bahwa mereka mengharuskan asuransi. Maka sang mufti menjawab: jangan kamu
setuju dengan asuransinya; ambil saja mobilnya tanpa asuransi dan asuransinya
tidak mengikat.
Mufti ini seharusnya memperjelas gambaran yang ada
dalam praktek. Semua finance leasing (ijârah al-muntahiyah bit-Tamlîk) dalam
praktek ternyata berisi asuransi.
Semestinya ia menjelaskan, finance leasing dengan
syarat mengikuti asuransi itu boleh atau tidak ? kemudian setelah itu dia bisa
memberikan penjelasan tambahan bahwa finance leasing itu boleh dilakukan bila
sudah memenuhi beberapa syarat. Dilanjutkan dengan penjabaran syarat-syarat
tersebut. Bila syarat-syarat tersebut dilanggar, maka hukumnya begini dan
begitu.
Contoh lain: Seorang ditanya
tentang hukum berpartisipasi dalam kompetisi sepak bola, lalu dia menjawab
bahwa pada asalnya hal itu diperbolehkan, kecuali bila terdapat hal-hal yang
larangan syari’at.
Perhatikanlah jawaban ini, tidak sesuai dengan
pertanyaannya. Pertanyaan penanya tersebut tidak lepas dari realita yang
terlihat di lapangan. Kompetisi ini tidak lepas dari berbagai pelanggaran
syari’at seperti membuang-buang waktu, membuka aurat, kerusakan akhlak,
menghabiskan umur dan membuang-buang harta. Hal-hal ini jelas bertentangan
dengan maqâshid syari’at (tujuan syariat) dari banyak sisi.
Kemudian juga, si penanya tidak menanyakan hukum asal.
Seandainya si penanya menanyakan hukum asal, maka si mufti seharusnya
mengingatkan si penanya tentang realita yang terjadi di lapangan setelah
menjelaskan hukum asalnya.
Kesimpulannya seorang mufti sebaiknya tidak menjawab
dengan cara di atas dan berusaha untuk memperhatikan dua perkara:
·
Menjelaskan bentuk realitanya dan tidak
lupa menjelaskan hukumnya; karena tidak menjelaskan kenyataan atau berkelit
darinya adalah kekeliruan yang berbahaya.
·
Menyampaikan hukum asal dengan
penjelasan ketentuan dan syarat-syarat yang mencakup kemungkinan bentuk-bentuk
lain dari yang telah ada dan yang akan ada.
Fatwa yang memenuhi dua hal ini akan menjadi lebih
jelas dan baku.
1. Permasalahan istilah dan bahasa yang
umum.
Merupakan satu keniscayaan ketika hendak menetapkan
hukum terhadap satu masalah kontemporer untuk melihat hakekat permasalahannya,
tidak silau dengan nama-nama atau pun istilahnya. Karena hukum syara’ hanya
berhubungan dengan hakekat dan pengertian, bukan dengan lafadz dan susunan
kata.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa bermain dengan
istilah-istilah agama menjadi fenomena pada banyak transaksi-transaksi yang
tidak benar dewasa ini. Buktinya, bila menilik seluruh transaksi yang muncul
dari bank-bank syari’at atau konvensional, tidak ada pelayanan yang menggunakan
nama riba secara terang-terangan. Namun, apakah ini menunjukkan bahwa seluruh
transaksi tersebut bebas dari riba?
Perhatikanlah pula pengorbanan dan keberanian yang
dilakukan oleh sebagian kaum muslimin Palestina yang lemah saat berhadapan
dengan orang-orang yahudi, musuh kaum Muslimin. Sebagian mereka menamakannya
‘amaliyah istisyhadiyyah (usaha untuk mendapatkan mati syahid-red), sementara
sebagian yang menamainya dengan ‘amaliyah intihariyyah (perbuatan bunuh
diri-red).
Padahal setiap penamaan memiliki makna tersendiri.
Yang menjadi problem dalam pemberian nama yaitu ketika tidak peduli dengan
makna dan kandungan nama itu. Tidak logis, kalau kita menghukumi perbuatan
diatas dengan hukum haram sementara pada saat yang sama kita menamainya dengan
‘amaliyah istisyhadiyyah. Sebaliknya, bagaimana bisa perbuatan itu dihukumi
sesuai dengan syari’at, sementara dia digelari ‘amaliyah intihariyyah. Kaedah
baku dan standar dalam hal ini adalah sedapat mungkin menggunakan nama-nama syar’i
dalam penamaan seluruh perkara.
Namun bila ada permasalahan yang baru dan tidak ada
nama yang syar’i untuknya, maka wajib menamainya dengan nama yang dikenal
secara bahasa, yang pas dan yang menunjukkan hakekat permasalahan tersebut.
2. Tidak cermat dalam melihat
perkembangan dan perubahan nawâzil.
Ini termasuk kesalahan karena hakekat nawâzil
terkadang mengalami sedikit perubahan dan pergeseran. Perubahan ini terkadang
merubah hakekat nawâzil secara keseluruhan dari hakekat sebelumnya. Meski
terjadi perubahan, namun istilah nawâzil tetap melekat pada keduanya, baik
seblum ataupun setelah terjadi perubahan.
Memberikan fatwa hanya berdasarkan
gambaran pertama dari suatu permasalahan pada suatu kejadian akan melahirkan
tashawwur (gambaran) yang keliru dan kesalahan dalam memahaminya (miss
understanding).
Kalau demikian, orang yang ingin memahami kejadian
tersebut secara sempurna, sudah seharusnya terus meng-update informasi
tentangnya. Khususnya pada zaman ini, dimana perubahan itu begitu cepat
terjadi.
Sudah dimaklumi bahwa sebuah fatwa bisa berubah
seiring dengan perubahan waktu, tempat dan keadaan serta adat yang berlaku.
Dari sini sudah seharusnya seorang mufti memperhatikan waktu, tempat, kondisi
dan keadaan yang berhubungan dengannya, serta adat yang berlaku dalam hukumnya
terhadap satu permasalahan kontemporer.
Untuk itu, kewajiban mufti dalam urusan kontemporer
ini adalah menjelaskan bentuk masalahnya dan hukumnya serta memberikan batasan
hukum terhadap masalahnya secara khusus, serta memperhatikan sumber hukumnya.
Akan lebih baik lagi bila diberikan tanggal keluarnya fatwa tersebut.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah
sikap Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’dirahimahullah dalam
salah satu fatwanya. Beliau rahimahullah menyampaikan,
sebagian Ulama terdahulu telah berfatwa bahwa seorang wanita apabila meninggal
dunia dalam keadaan mengandung bayi yang masih hidup, maka dilarang membedah
perutnya untuk mengeluarkan bayinya. Karena ini termasuk al-mutslah (merusak jenazah/mayat).
Kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan komentar :
“Namun pada masa-masa terakhir ini, ilmu bedah telah berkembang pesat dan
akhirnya membedah perut atau sebagian anggota badan tidak lagi dianggap
al-mutslah. Mereka bisa melakukannya terhadap orang yang masih hidup dengan
keridhaan dan keinginan terhadap beraneka ragam sistem pengobatan. Sehingga
saya cenderung seandainya para ahli fikih terdahulu menyaksikan keadaan ini
tentu mereka akan memperbolehkan membedah perut orang hamil, dengan sebab
keberadaan bayinya yang masih hidup dan demi mengeluarkannya. Khususnya bila
masa hamil sudah usai dan diketahui atau besar kemungkinan bayinya akan bisa
diselamatkan.”
Setelah menyampaikan kecenderungan
beliau, syaikh Abdurrahman Nashir as-sa’di rahimahullah mengatakan:
“al-mutslah yang mereka jadikan sebagai alasan untuk melarang tindakan ini
menunjukkan asumsi ini.” [2]
1. Cenderung mempermudah dan meringankan
fatwa, tanpa memperhatikan maqâshid syari’at.
Anggapan mereka bahwa inilah yang paling sesuai dengan
keadaan manusia di zaman ini. Karena (kebanyakan-red) manusia saat ini tidak
lagi berpegang teguh dengan hukum-hukum agama dan sibuk dengan gemerlap
kehidupan. Untuk itu, harus dilakukan upaya pendekatan agama kepada mereka yang
berjiwa lemah dan yang lainnya, supaya mereka bisa menerima dan mencari
hukum-hukum syara’. Ini upaya yang wajib dilakukan. namun pendapat yang
memberikan kemudahan tersebut harus memiliki dasar kuat yang menopangnya berupa
nash atau qiyas atau pendapat imam ahli fikih yang diikuti.
Di antara contohnya adalah fatwa sebagian Ulama yang
membolehkan seorang wanita bepergian haji dengan teman-teman yang dipercaya
tanpa mahram. [3]
2. Kecenderungan untuk memperberat dan
melarang tanpa memperhatikan maqâshid syari’at.
Dengan asumsi ini lebih hati-hati dan cocok dengan
keadaan sebagian kaum Muslimin yang sering meremehkan dan tidak mau
melaksanakan tugas-tugas syari’at. Terkadang sikap meremehkan ini pada akhirnya
bisa menyeret seseorang meninggalkan aturan-aturan agama sama sekali.
Di antara contohnya adalah fatwa sebagian Ulama yang
menyatakan tidak boleh melempar jumrah di malam hari, juga fatwa yang
menyatakan bahwa bayi tabung hukum haram secara mutlak.
3. Berhujjah dengan fatwa sekelompok
Ulama (al-Iftâ` al-Jamâ`i) dan merasa cukup denganya serta menjadikannya
sebagai dalil tanpa merasa butuh dengan yang lain.
Yang dimaksud dengan al-Iftâ` al-Jamâ`i adalah semua
fatwa dan ketetapan ataupun penjelasan dikeluarkan oleh sebagian al-Majâmi’
(konferensi) dan lajnah ilmiyah. Terkait dengan hal ini, ada beberapa point
penting yang perlu diperhatikan:
a. Tidak disangsikan lagi bahwa fatwa yang bersumber
dari banyak Ulama lebih pantas untuk diterima dibandingkan fatwa perorangan.
Perlu dibedakan antara fatwa yang dikeluarkan sebuah
lajnah fatwa yang terdiri dari sejumlah mufti dengan ijma’ (kesepakatan-red)
para ulama. Perlu diketahui juga bahwa ifta’ jama’i tidak bisa mencapai derajat
ijma’, baik dari sisi kekuatan hujjahnya ataupun segi kesepakatannya. Sebab
fatwa dari konferensi dan badan ilmiyah dunia tersebut adalah hasil pemikiran fikih
yang dirangkai disusun dari berbagai penelitian, karya tulis dan sensus
lapangan. Jelas ketetapan konferensi dengan tinjauan ini lebih baku dan teliti
secara fikih daripada fatwa sekelompok Ulama. Fatwa sekelompok Ulama jelas –
karena banyaknya mereka – memberikan perasaan lebih tenang dan tentram
dibanding fatwa perorangan. Inilah tiga tingkatan fatwa kontemporer, yang
tertinggi adalah ketetapan konferensi, kemudian fatwa sekelompok Ulama,
kemudian fatwa perorangan.
b. Harus membedakan antara fatwa yang disampaikan
mayoritas Ulama dengan adanya Ulama yang menyelisihinya dengan masalah Ijmâ’.
Juga mengetahui bahwa fatwa sekelompok Ulama tidak sampai pada martabat ijmâ’
dalam peran sebagai hujjah dan kesepakatan.
c. Kelemahan fatwa secara berjama`ah kadang terjadi
karena tekanan fihak tertentu dan biasanya tidak memiliki sarana iklan
(penyampaian-red) yang sesuai.
d. Terkadang pendapat yang dikeluarkan konferensi
(al-Majma’) adalah pendapat minoritas, walaupun dikeluarkan dengan kesepakatan
mereka semuanya. Sebab tidak semua Ulama dunia bisa ikut serta dalam konferensi
tersebut.
e. Di antara ide yang sering dilontarkan yaitu
membentuk perkumpulan para Ulama dunia yang independen, tidak berada di bawah
satu kekuatan atau satu pemerintahan. Perkumpulan ini yang akan mempelajari dan
meneliti masalah-masalah kontemporer yang terjadi di tengah umat dengan tanpa
tekanan dari fihak manapun.
1. Berhujjah dengan fatwa perorangan dan
mengamalkannya serta pasrah kepadanya. Yang dimaksud dengan fatwa perorangan
(al-Iftâ` al-Fardi) adalah fatwa dan ketetapan yang keluar dari seorang Ulama.
Dalam hal ini ada beberapa point penting:
Dalam hal ini ada beberapa point penting:
·
Fatwa perorangan adalah penyempurna dan
berasal dari fatwa kelompok (al-Iftâ al-Jamâ’i).
·
Kebenaran terkadang ada pada satu
individu bukan pada mayoritas. Ini adalah perkara yang sudah ditetapkan oleh
syara’ dan nyata.
·
Sebagian fatwa mufti tidak dianggap. Karena,
terkenal suka meremehkan suatu permasalahan dan mengikuti hawa nafsu.
·
Pendapat seorang mufti atau lebih,
kadang tersiarkan dan tersebar luas hingga orang menyangka ini adalah pendapat
mayoritas, padahal sebenarnya tidak demikian.
Demikian sebagian kekeliruan yang nampak dalam banyak
fatwa kontemporer, semoga menjadi pencerahan bagi kita semua.
Footnotes:
[1] Diangkat dari kitab Fikih
Nawâzil 1/68-77.
[2] Fatâwa as-Sa’diyah hlm
189-190.
[3] Fatwa ini nampaknya memberikan kemudahan pada
manusia, padahal sebenarnya malah sebaliknya, jika kita melihat kepadatan
jamaah haji yang sangat beresiko menimbulkan berbagai bahaya bagi sebagian
jamaah haji bahkan bisa menyebabkan kematian. Khususnya bagi mereka yang lemah
seperti jompo, orang sakit dan wanita.
Dengan cara pandang ini, kalau ingin memberikan
kemudahan bagi kaum wanita mestinya mereka dilarang berhaji tanpa ada mahram
yang menjaga mereka. Dengan kata lain, bukankah pelarangan wanita berhaji tanpa
mahram akan mengakibatkan berkurangnya kepadatan dan memperkecil jumlah jamaah
haji?
Sumber : EkonomiSyariat.Com