Oleh : Al-Ustadz Aris Munandar
Ibnu Sa'di mengatakan, "Semua transaksi baik transaksi jual beli, sewa menyewa, investasi dan selainnya yang para pelakunya sudah saling rela akan tetapi syariat melarangnya maka transaksi tersebut adalah transaksi haram yang batal. Kerelaaan semua pelaku tidaklah teranggap karena kerelaan pelaku transaksi adalah syarat sah transaksi setelah ada keridhoan Allah dan rasul-Nya terhadap transaksi tersebut".
Ketika menjelasan kalimat kalimat di atas, Syaikh Ibnu Utsaimin
mengatakan, "Kaedah di atas berdasarkan hadits. Nabi bersabda,
"Segala persyaratan atau perjanjian yang tidak terdapat dalam hukum Allah
adalah persyaratan yang batil" [HR Bukhari dan Muslim].
Nabi juga bersabda, "Kaum muslimin itu terikat dengan segala perjanjian yang
mereka sepakati kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal" [HR Tirmidzi dari Abu Hurairah]
Ketika disodorkan kepada Nabi korma dengan kualitas yang bagus,
beliau bertanya, "Apakah semua korma Khaibar itu seperti itu?"
Shahabat mengatakan, "Tidak akan tetapi kami tukar satu
sha' korma bagus dengan dua sha' korma kualitas jelek, dua sha' yang bagus
dengan tiga sha' korma jelek".
Nabi bersabda, "Jangan
lakukan semacam itu. Jika korma dibarter dengan korma maka takarannya harus
sama. Solusi yang lain adalah jual korma yang jelek lalu uang hasil
penjualannya digunakan untuk membeli korma yang bagus" [HR
Bukhari].
Dalam hadits di atas, Nabi memerintahkan untuk mengembalikan
korma hasil barter yang terlarang karena transaksi barter tersebut tidak
sejalan dengan aturan Allah dan rasul-Nya sedangkan Nabi bersabda, "Semua
amalan yang tidak sejalan dengan syariat kami maka amalan tersebut adalah
amalan yang tertolak" [HR Bukhari dan Muslim].
Jika demikian, semua transaksi yang haram itu objek transaksinya
wajib dikembalikan.
Jika objek transaksi tidak mungkin dikembalikan semisal ada
orang yang karena tidak mengetahui bahwa ada riba dalam transaksi yang dia
lakukan akhirnya dia berhutang dengan sistem riba. Ketika ada yang mengingatkan
bahwa transaksi yang dia lakukan adalah riba, orang yang berhutang tersebut
menemui pihak yang menghutanginya dan meminta kerelaannya agar dia tidak perlu
bayar bunga pinjaman utang namun pihak yang menghutangi menolak permintaan
tersebut.
Dalam kondisi semacam ini kewajiban pihak yang berhutang yang
merupakan pihak yang dizalimi adalah bertaubat kepada Allah dan bertekad untuk
tidak mengulangi perbuatannya untuk berhutang dengan sistem ribawi dan tidak
ada tanggungan dosa atasnya karena dia memang tidak mampu membebaskan diri dari
ikatan transaksi tersebut. Sedangkan dosa adalah tanggungan pihak yang
membungakan utang karena sebenarnya dia bisa membebaskan orang yang berutang
dari riba dengan menghapus kewajiban membayarkan bunga namun dia tidak mau
melakukannya.
Akan tetapi pihak yang berhutang dan yang menghutangi sama
sama mengetahui bahwa yang dilakukan adalah transaksi riba uang bunga alias
riba tidak kita kembalikan kepada pihak yang berutang yang merupakan pihak yang
telah mendapatkan manfaat dari uang milik pihak yang mengutangi. Kita ambil
uang bunga tersebut dari pihak yang menghutangi lantas kita salurkan untuk
berbagai kepentingan umum. Hal dikarenakan pihak yang dirugikan yaitu orang
yang berhutang itu bersedia menjadi nasabah riba dalam kondisi sadar bahwa itu
riba maka tidak boleh baginya mendapatkan dua hal sekaligus yaitu mendapatkan
manfaat dari pihak yang menghutangi dan mendapatkan pengembalian uang bunga
atau riba" [Ibnu Utsaimin dalam Ta'liq beliau untuk al Qawaid wal Ushul al Jamiah karya Ibnu Sa'di hal 76-77 terbitan
Yayasan Sosial Ibnu Utsaimin cet pertama 1430 H].
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon kesediaannya untuk menggunakan kata - kata yang santun