Oleh : Al-Faqir
Ila Allah Abu Ukasyah Al-Cilacapiy
Adalah sebuah hal yang tidak bisa
terelakkan lagi keberadaannya pada dewasa ini sistem jual beli dengan cara perkreditan (Leasing),
hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap
barang - barang yang notabenenya tergolong mahal yang kemudian menjadikan perusahaan
penjual barang menawarkan sistem perkreditan kepada konsumen, dimana konsumen
membeli barang dengan cara mengangsur dalam tempo tertentu, tentunya sistem ini
menjadikan daya beli masyarakat terhadap barang - barang tersebut semakin
meningkat karena mereka merasa dimudahkan untuk bisa segera memiliki dan
memakai barang tersebut walau dengan bugdet awal yang minim. Maka dengan
ditunjangnya fakta ini perusahaan - perusahaan leasing pun semakin
menggeliat pertumbuhannya dalam menawarkan jasa perkreditan.
Untuk itulah sebagai seorang
muslim yang senantiasa berusaha mengamalkan hukum - hukum syari'at Islam
tentunya kita akan bertanya, bagaimanakah kiranya hukum jual beli dengan sistem
perkreditan didalam syari'at Islam? Pertanyaan inilah yang mengajak kami untuk
memaparkan hukum - hukum yang berkenaan dengan sistem perkreditan tersebut
disini, dengan kedangkalan pemahaman dan minimnya ilmu yang kami miliki, maka kami
memohon taufiq dan pertolongan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sekiranya
Allah memudahkan kami dalam menulis dan menyusunnya, sesungguhnya Dia Dzat Yang
Maha Mengabulkan do'a.
Hukum Jual Beli Dengan Sistem Kredit (Leasing)
Secara global sistem perkreditan
pada saat ini bisa kita kategorikan menjadi dua macam, yang pertama adalah
sistem perkreditan langsung tanpa perantara dan yang kedua adalah sistem
perkreditan tidak langsung dengan menggunakan perantara, untuk lebih jelasnya
sebagai berikut.
I. Sistem perkreditan langsung
Sistem perkreditan
langsung adalah sebuah transaksi perkreditan yang dilakukan secara langsung
oleh pemilik barang (penjual) dengan pembeli tanpa adanya campur tangan dengan
pihak ketiga. Akad seperti ini diperbolehkan didalam syari'at walaupun harga
pembelian dengan kredit lebih besar dari harga kontan, permisalannya adalah
Bapak A membeli sebuah sepeda motor dari Bapak B secara kredit dengan harga 15
juta, padahal jika ia membelinya secara tunai maka ia bisa mendapatkannya
dengan harga 12 juta. Adapun dalil yang menunjukan kebolehan transaksi seperti
ini adalah :
- Keumuman firman
Allah Azza Wa Jalla : Artinya : "Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar"
(QS. Al-Baqarah (2) : 282). Ayat ini adalah salah satu
dalil yang membolehkan praktek hutang - piutang sedangkan kredit adalah termasuk
salah satu bentuk hutang - piutang maka hukum transaksi perkreditan masuk
kedalam keumuman ayat ini.
- Dari
'Aisyah Radhiallahu 'Anha :"Rasulullah membeli bahan
makanan dari seorang yahudi dengan menunda pembayaran dan beliau
menggadaikan perisainya sebagai jaminan hutangnya". (HR.
Bukhari No.2092, Muslim No.3008, Nasa'i No.4530). Pada hadits tersebut
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam membeli bahan makanan dengan
cara dihutang sebagai jaminannya beliaupun menggadaikan perisainya, dengan
demikian hal ini sangat jelas menunjukan tentang kebolehannya sistem perkreditan
itu, karena sistem perkreditan pada hakikatnya merupakan sistem pembelian
dengan pembayaran dihutang.
- Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu
‘Anhuma berkata :“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak
memiliki tunggangan, maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash
untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya
penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash dengan perintah dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun membeli setiap ekor
onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya
penarikan zakat”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan
oleh Al –Albani). Hadits tersebut menunjukan bahwasanya Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam memberikan harga dua unta dari harga satu unta, yang
mana hal ini sangat kuat mengindikasikan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam melakukan penambahan dengan ditangguhkannya pembayaran,
dengan asumsi bahwa seorang yang memiliki uang untuk membayar harga tunai dari
suatu barang tentu tidak ingin membeli harga barang tersebut dengan harga
mahal, terlebih lagi dua kali lipat dari harga wajar, seperti yang
termaktub di dalam hadits.
- Nabi Shalallahu
'Alaihi Wasallam bersabda :"Barangsiapa membeli barang dengan
sistem pemesanan (Salam), maka hendaknya ia memesannya dengan takaran yang
jelas, timbangan yang jelas dan waktu yang jelas pula". (HR.
Bukhari No. 2086, Muslim No.3010, Abu Dawud No.3004). Sistem jual beli
dengan cara pemesanan (Salam) adalah termasuk sistem jual beli yang
diperbolehkan, sistem ini merupakan kebalikan dari sistem perkreditan,
dimana pembeli memesan sebuah barang dengan pembayaran dimuka tetapi beserta
pengakhiran penyerahaan barang, namun didalam hadits ini Rasulullah Shalallahu
'Alaihi Wasallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah
dari pembelian dengan penyerahan barang secara langsung, maka dengan
demikian sistem perkreditan masuk kedalam keumuman hadits ini, dimana
boleh bagi seseorang menambahkan harga penjualan barang secara kredit dari
harga tunai.
Adapun sabda Nabi Shalallahu
'Alaihi Wasallam :"Barangsiapa yang menjual dua harga penjualan
dalam satu penjualan maka baginya untuk mengambil harga yang terkecil, jika
tidak maka ia telah terjerembab kedalam riba" (HR. Abu Dawud
No.3002, Hakim No.2292. Dihasankan oleh syaikh Albani dalam Al-Irwa).
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ini adalah dasar dari dilarangnya
sistem perkreditan, namun yang lebih mendekati kebenaran adalah apa yang telah
dijelaskan oleh Ibnul Qayim dalam I'lamul Muwaqi'in (3/171) bahwa hadits ini
menunjukan larangan jual beli dengan sistem 'Inah, yaitu seseorang
menjual barang kepada orang lain dengan pembayaran dihutang kemudian setelah
barang diserahkan segera ia membeli kembali barang tersebut secara tunai dengan
harga lebih murah.
II. Sistem perkreditan tidak langsung
Sistem
perkreditan tidak langsung adalah sistem perkreditan yang melibatkan pihak
ketiga didalamnya. Sebagai permisalan adalah Bapak B membeli sebuah mobil di showroom
secara kredit dengan harga 30 juta sedangkan harga tunainya adalah 27 juta, maka
ia diminta untuk menandatangani seberkas formulir dan diminta untuk memberikan
uang muka atau barang sebagai jaminan, setelah akad selesai Bapak B pun pulang
kerumah dengan membawa mobil tersebut, maka sebagai konsekuensinya Bapak B berkewajiban
membayar cicilan tersebut ke perusahaan leasing atau bank yang ditunjuk
sebelumnya sesuai kesepakatan dan bukan pada showroom tadi. Keberadaan
pihak ketiga ini menuai pertanyaan, kenapa Bapak B harus membayar cicilannya
disana bukan kepada showroom? Ya, karena showroom tersebut
sebelumnya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak bank atau
perusahaan leasing, yang berjanji akan menunaikan haknya untuk membayar
harga kontan (27 juta) dari mobil tadi seusai Bapak B mengisi formulir, dengan
begitu Bapak B secara otomatis menjadi nasabah dari perusahaan tersebut serta
berkewajiban melunasi hutangnya sebanyak 30 juta.
Jika
dilihat dari hakikatnya maka kita bisa menafsirkan praktek tersebut dengan dua
penafsiran berikut ini :
- Penafsiran
pertama : Bank telah menghutangi Bapak B 27 juta yang kemudian langsung
bank bayarkan ke showroom selepas pengisian formulir, dan disaat
yang sama Bapak B berkewajiban mengembalikan hutangnya sebanyak 30 juta
kepada Bank, berdasarkan hal ini maka praktek ini bisa dikategorikan sebagai
riba nasi'ah, padahal Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam telah
melaknat pelaku riba sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiallahu
'Anhu :"Rasulullah melaknat pemakan riba, pembayarnya,
penulisnya dan dua orang saksinya" (HR. Muslim No.2995, Abu
Dawud No.2895).
- Penafsiran
kedua : Bank telah membeli mobil tersebut dari showroom dengan
harga 27 juta dan menjualnya kembali kepada Bapak B dengan harga 30 juta,
namun jika penafsiran ini benar sekalipun sesungguhnya bank telah menjual
mobil tersebut kepada Bapak B sebelum mobil tersebut dipindahkan dari showroom
ke tangan bank, sehingga bank dikategorikan telah menjual mobil tersebut
sebelum kepemilikannya secara penuh. Sebagai buktinya surat menyurat mobil
tersebut langsung dituliskan dengan nama Bapak B dan bukan atas nama bank.
Mengenai sistem seperti ini Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam telah
bersabda :"Barangsiapa membeli bahan makanan maka janganlah
menjualnya sebelum ia memilikinya secara penuh" (HR. Bukhari
No.1989, Muslim No.2808). Dan juga didalam sebuah riwayat dari Ibnu
Umar bahwasanya ia berkata :"Suatu ketika saya membeli minyak
dipasar, begitu saya selesai membelinya datanglah seorang laki-laki
menawar minyak saya dengan penawaran yang tinggi, maka spontan saja saya
ingin segera menyalami orang tadi guna menerima tawarannya, tiba-tiba ada seseorang yang memegang lengan saya
dari belakang setelah saya menoleh ternyata itu Zaid bin Tsabit sembari
berkata :"Janganlah engkau menjualnya hingga engkau memindahkan
minyak ini, karena Rasulullah Shalallahu
'Alaihi Wasallam melarang penjualan suatu barang ditempat barang itu
dibeli sehingga barang itu dipindahkan ketempat pembeli" (HR. Abu
Dawud No.3036, Hakim No.2271. Dihasankan oleh syaikh Albani).
Dan salah satu hikmah dibalik pelarangan ini adalah karena orang yang
menjual barang ditempat ia membeli sebenarnya telah menjual uang dengan
uang tetapi dengan penundaan barang.
Dengan begitu
sistem perkreditan tidak langsung dengan campur tangan pihak ketiga adalah
sistem yang telah keluar dari koridor syari'at dan tidak seyogyanya seorang
muslim bertransaksi dengan sistem seperti ini.
Solusi Kredit Yang Aman
Sebagai solusi
dari perkreditan tidak secara langsung yang tidak dibenarkan dalam syari'at
adalah kita melakukan transaksi perkreditan dengan sistem langsung yang telah
kami jelaskan dimuka, atau kita bisa meminta kepada seorang pengusaha untuk
membelikan suatu barang kepada kita, setelah barang tersebut berpindah
kepemilikan kepadanya maka kita membeli barang tersebut darinya secara kredit
namun hal ini dibolehkan dengan tiga syarat :
- Tidak ada
kewajiban mengikat dari dua belah pihak sebelum pengusaha memiliki barang
tersebut.
- Pembeli
tidak mempunyai kewajiban untuk menanggung kerusakan barang akan tetapi
hal itu tetap menjadi tanggung jawab pengusaha.
- Tidak
terjadi transaksi jual beli kecuali setelah pengusaha memiliki barang
tersebut secara penuh.
Dan apabila sistem seperti ini pun
sulit ditemukan maka hendaknya kita bersabar untuk bisa membeli barang yang
kita inginkan secara tunai tentunya dengan menabung terlebih dahulu. Allah Azza
Wa Jalla berfirman : Artinya :"Barangsiapa bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya" (QS.
Ath-Thalaq (65) : 2-3).
Berbagai sumber.
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon kesediaannya untuk menggunakan kata - kata yang santun