Web Blog Abu Ukasyah Al-Cilacapiy

Memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman para Salafush Shaleh.

Menuju Insan Yang Bertaqwa dengan Ilmu Agama

Aqidah, Hadits, Fiqih, Mutiara hikmah Salaful Ummah.

Berbagi ilmu berasaskan ukhuwah Islamiyah

Web Blog Sarana Pengebat Ilmu dan Pendulang Pahala.

Sarana Berbagi Materi

Materi Kajian, Khutbah Jum'at dan Kultum.

Silahkan Download

Soal - soal ujian Lipia, copy rangkuman materi.

Rabu, 10 Juli 2013

Kekeliruan Yang Muncul Dalam Fatwa Kontemporer

Oleh : Ustadz Khalid Syamhudi



Allah Ta’ala menutup dakwah para Rasul dengan dakwah Rasulullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah Ta’ala memenangkan risalah beliau hingga hari kiamat nanti. Allah Ta’ala ciptakan generasi Sahabat dan Tabi’in yang bertugas menegakkan hujjah kepada manusia. Juga memerintahkan mereka untuk menjaga syariat Islam dan ber-tafaqquh fiddîn (belajar ilmu agama). Allah Ta’ala berfirman:

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَٰكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitâb dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
 (Qs. Ali Imrân/3:79)

Allah Ta’ala juga berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi Mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. 
(Qs at-Taubah/9:122)

Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala membagi mereka menjadi dua kelompok. Salah satunya diperintahkan untuk berjihad di jalan-Nya dan yang lainnya diperintahkan menuntut ilmu agama, agar kaum Muslimin dapat merujuk dan bertanya kepada mereka tentang berbagai permasalahan dien; Termasuk dalam permasalahan kontemporer (nawâzil) yang terjadi di kalangan kaum Muslimin. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
(Qs. an-Nahl/16:43)

Syarat Berfatwa Dalam Nawâzil
Tidak dipungkiri lagi ijtihâd para Ulama dalam memberikan fatwa pada masalah kontemporer (Nawâzil) sangat dibutuhkan umat ini. Apalagi permasalahan kontemporer (Nawâzil) sangat banyak dan terus bermunculan. Namun tentunya, yang bisa berbicara untuk memutuskan permasalahan ini hanyalah para ulama yang memenuhi syarat, di antaranya:
1.      Seorang mujtahid (ahli ijtihad/memiliki kemampuan untuk berijtihad-red), walaupun bukan mujtahid mutlak dan hanya bisa berijtihad dalam sebagian bidang ilmu.
2.      Harus memiliki gambaran jelas dan pemahaman yang benar terhadap permasalahan yang akan dijadikan sebagai obyek ijtihadnya.
3.      Dalam menetapkan hukum, dia bersandar pada dalil syar’i yang mu’tabar (yang dibenarkan).
Beberapa Kekeliruan yang Sering Ditemui Dalam Fatwa Kontemporer
Para Ulama yang berfatwa dalam masalah Nawâzil terkadang keliru walaupun secara kuantitas tiga syarat di atas sudah terpenuhi. Kekeliruan tersebut bertingkat-tingkat, tidak sama, ada yang jelas dan ada yang samar. Berikut ini beberapa kekeliruan yang samar dalam fatwa nawazil:
1. Penguraian permasalahan ke dalam elemen-elemen pembentuknya dengan memberikan hukum khusus satu persatu tanpa melihat hasil yang ada apabila digabung dan disusun.
Sebagai contoh: Jual beli murâbahah. (Apa itu murabahah – nusadi?) (jual beli) yang tersusun dari tiga akad yaitu akad wakâlah (perwakilan), akad Muwâ’adah bisy-Syirâ’ (janji membeli) dan akad jual beli kredit. Ketiga akad ini sah dan dibenarkan. Berdasarkan hal ini maka jual beli murâbahah adalah akad yang shahîh.
Inilah yang disampaikan orang yang mensahkan jual beli ini, tanpa menengok kepada pengertian baru yang muncul ketika ketiga akad itu disatukan.
Sedangkan Ulama yang melarangnya, berpendapat bahwa walaupun jual beli murâbahah ini terbentuk dari tiga akad tersebut, namun keadaan dan faktor pendorong pengadaan dan penyebarannya menunjukkan akad ini salah satu diantara upaya merekayasa riba.
Karena penjual -yaitu bank pembiaya- ingin meminjamkan uang kepada pembeli dengan mendapatkan profit (bunga), demikian juga pembeli, dia ingin meminjam uang dari bank dengan memberi bunga. Barang yang ada hanya dijadikan rekayasa hingga berubah bentuk menjadi pinjaman dengan bunga yang kemudian dinamakan jual beli murâbahah.
Contoh lainnya: Fatwa sebagian Ulama tentang al-Ijârah al-Muntahiyah bit-tamlîk (finance leasing). Ada yang menyatakannya sebagai adalah akad yang sah, karena tersusun dari ijârah (sewa menyewa), jual beli (Bai’) atau pemberian (Hibah). Ijârah jelas disepakati kebolehannya. Kemudian apabila masa ijârah (sewa menyewa) telah selesai, maka pemilik barang memiliki kebebasan penuh untuk menjual barangnya atau menghibahkannya kepada siapa yang ia sukai atau tetap menahan barang itu sebagai miliknya. Tidak ada yang mampu mencegah pemilik barang dari kebebasannya mengelola barang miliknya, mau dijual atau dihibahkan.
Bukan maksud di sini memaparkan pendapat yang membolehkan atau yang melarang dalam masalah ini atau lainnya. Tetapi hanya mengingatkan tentang pentingnya mengkompromikan antara tinjauan secara menyeluruh (an-Nazhar al-Kulli al-Ijmâli) dengan tinjauan secara rinci (an-nazhar al-Juz’i at-tafshîli) ketika hendak menetapkan satu hukum pada sebuah nawazil. Juga hendak menjelaskan bahwa membatasi hanya dengan salah satu sisi tinjauan saja dapat menjerumuskan pada kesalahan.
Sudah menjadi kewajiban seorang ulama ahli fikih untuk melihat dengan teliti permasalahan dan akad transaksi kontemporer dan memahami hakekatnya serta meninjau akibat yang ditimbulkannya.
2. Berkelit dari realita.
Banyak mufti yang apabila ditanya tentang masalah kontemporer, dia menjawab dengan menerangkan hukum masalah tersebut dari sisi hukum asal, kemudian menyampaikan syarat-syarat hukumnya. Padahal pada kenyataannya syarat tersebut sangat sulit dilaksanakan.
Contoh: Sebagian mufti (ahli fatwa) ketika ditanya tentang hukum finance leasing (al-Ijâr al-Muntahiyah bit-Tamlîk) menjawab bahwa itu boleh. Tetapi penanya melanjutkan lagi bahwa mereka mengharuskan asuransi. Maka sang mufti menjawab: jangan kamu setuju dengan asuransinya; ambil saja mobilnya tanpa asuransi dan asuransinya tidak mengikat.
Mufti ini seharusnya memperjelas gambaran yang ada dalam praktek. Semua finance leasing (ijârah al-muntahiyah bit-Tamlîk) dalam praktek ternyata berisi asuransi.
Semestinya ia menjelaskan, finance leasing dengan syarat mengikuti asuransi itu boleh atau tidak ? kemudian setelah itu dia bisa memberikan penjelasan tambahan bahwa finance leasing itu boleh dilakukan bila sudah memenuhi beberapa syarat. Dilanjutkan dengan penjabaran syarat-syarat tersebut. Bila syarat-syarat tersebut dilanggar, maka hukumnya begini dan begitu.
Contoh lain: Seorang ditanya tentang hukum berpartisipasi dalam kompetisi sepak bola, lalu dia menjawab bahwa pada asalnya hal itu diperbolehkan, kecuali bila terdapat hal-hal yang larangan syari’at.
Perhatikanlah jawaban ini, tidak sesuai dengan pertanyaannya. Pertanyaan penanya tersebut tidak lepas dari realita yang terlihat di lapangan. Kompetisi ini tidak lepas dari berbagai pelanggaran syari’at seperti membuang-buang waktu, membuka aurat, kerusakan akhlak, menghabiskan umur dan membuang-buang harta. Hal-hal ini jelas bertentangan dengan maqâshid syari’at (tujuan syariat) dari banyak sisi.
Kemudian juga, si penanya tidak menanyakan hukum asal. Seandainya si penanya menanyakan hukum asal, maka si mufti seharusnya mengingatkan si penanya tentang realita yang terjadi di lapangan setelah menjelaskan hukum asalnya.
Kesimpulannya seorang mufti sebaiknya tidak menjawab dengan cara di atas dan berusaha untuk memperhatikan dua perkara:
·         Menjelaskan bentuk realitanya dan tidak lupa menjelaskan hukumnya; karena tidak menjelaskan kenyataan atau berkelit darinya adalah kekeliruan yang berbahaya.
·         Menyampaikan hukum asal dengan penjelasan ketentuan dan syarat-syarat yang mencakup kemungkinan bentuk-bentuk lain dari yang telah ada dan yang akan ada.
Fatwa yang memenuhi dua hal ini akan menjadi lebih jelas dan baku.
1. Permasalahan istilah dan bahasa yang umum.
Merupakan satu keniscayaan ketika hendak menetapkan hukum terhadap satu masalah kontemporer untuk melihat hakekat permasalahannya, tidak silau dengan nama-nama atau pun istilahnya. Karena hukum syara’ hanya berhubungan dengan hakekat dan pengertian, bukan dengan lafadz dan susunan kata.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa bermain dengan istilah-istilah agama menjadi fenomena pada banyak transaksi-transaksi yang tidak benar dewasa ini. Buktinya, bila menilik seluruh transaksi yang muncul dari bank-bank syari’at atau konvensional, tidak ada pelayanan yang menggunakan nama riba secara terang-terangan. Namun, apakah ini menunjukkan bahwa seluruh transaksi tersebut bebas dari riba?
Perhatikanlah pula pengorbanan dan keberanian yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin Palestina yang lemah saat berhadapan dengan orang-orang yahudi, musuh kaum Muslimin. Sebagian mereka menamakannya ‘amaliyah istisyhadiyyah (usaha untuk mendapatkan mati syahid-red), sementara sebagian yang menamainya dengan ‘amaliyah intihariyyah (perbuatan bunuh diri-red).
Padahal setiap penamaan memiliki makna tersendiri. Yang menjadi problem dalam pemberian nama yaitu ketika tidak peduli dengan makna dan kandungan nama itu. Tidak logis, kalau kita menghukumi perbuatan diatas dengan hukum haram sementara pada saat yang sama kita menamainya dengan ‘amaliyah istisyhadiyyah. Sebaliknya, bagaimana bisa perbuatan itu dihukumi sesuai dengan syari’at, sementara dia digelari ‘amaliyah intihariyyah. Kaedah baku dan standar dalam hal ini adalah sedapat mungkin menggunakan nama-nama syar’i dalam penamaan seluruh perkara.
Namun bila ada permasalahan yang baru dan tidak ada nama yang syar’i untuknya, maka wajib menamainya dengan nama yang dikenal secara bahasa, yang pas dan yang menunjukkan hakekat permasalahan tersebut.
2. Tidak cermat dalam melihat perkembangan dan perubahan nawâzil.
Ini termasuk kesalahan karena hakekat nawâzil terkadang mengalami sedikit perubahan dan pergeseran. Perubahan ini terkadang merubah hakekat nawâzil secara keseluruhan dari hakekat sebelumnya. Meski terjadi perubahan, namun istilah nawâzil tetap melekat pada keduanya, baik seblum ataupun setelah terjadi perubahan.
Memberikan fatwa hanya berdasarkan gambaran pertama dari suatu permasalahan pada suatu kejadian akan melahirkan tashawwur (gambaran) yang keliru dan kesalahan dalam memahaminya (miss understanding).
Kalau demikian, orang yang ingin memahami kejadian tersebut secara sempurna, sudah seharusnya terus meng-update informasi tentangnya. Khususnya pada zaman ini, dimana perubahan itu begitu cepat terjadi.
Sudah dimaklumi bahwa sebuah fatwa bisa berubah seiring dengan perubahan waktu, tempat dan keadaan serta adat yang berlaku. Dari sini sudah seharusnya seorang mufti memperhatikan waktu, tempat, kondisi dan keadaan yang berhubungan dengannya, serta adat yang berlaku dalam hukumnya terhadap satu permasalahan kontemporer.
Untuk itu, kewajiban mufti dalam urusan kontemporer ini adalah menjelaskan bentuk masalahnya dan hukumnya serta memberikan batasan hukum terhadap masalahnya secara khusus, serta memperhatikan sumber hukumnya. Akan lebih baik lagi bila diberikan tanggal keluarnya fatwa tersebut.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah sikap Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’dirahimahullah dalam salah satu fatwanya. Beliau rahimahullah menyampaikan, sebagian Ulama terdahulu telah berfatwa bahwa seorang wanita apabila meninggal dunia dalam keadaan mengandung bayi yang masih hidup, maka dilarang membedah perutnya untuk mengeluarkan bayinya. Karena ini termasuk al-mutslah (merusak jenazah/mayat). Kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan komentar : “Namun pada masa-masa terakhir ini, ilmu bedah telah berkembang pesat dan akhirnya membedah perut atau sebagian anggota badan tidak lagi dianggap al-mutslah. Mereka bisa melakukannya terhadap orang yang masih hidup dengan keridhaan dan keinginan terhadap beraneka ragam sistem pengobatan. Sehingga saya cenderung seandainya para ahli fikih terdahulu menyaksikan keadaan ini tentu mereka akan memperbolehkan membedah perut orang hamil, dengan sebab keberadaan bayinya yang masih hidup dan demi mengeluarkannya. Khususnya bila masa hamil sudah usai dan diketahui atau besar kemungkinan bayinya akan bisa diselamatkan.”
Setelah menyampaikan kecenderungan beliau, syaikh Abdurrahman Nashir as-sa’di rahimahullah mengatakan: “al-mutslah yang mereka jadikan sebagai alasan untuk melarang tindakan ini menunjukkan asumsi ini.” [2]

1. Cenderung mempermudah dan meringankan fatwa, tanpa memperhatikan maqâshid syari’at.
Anggapan mereka bahwa inilah yang paling sesuai dengan keadaan manusia di zaman ini. Karena (kebanyakan-red) manusia saat ini tidak lagi berpegang teguh dengan hukum-hukum agama dan sibuk dengan gemerlap kehidupan. Untuk itu, harus dilakukan upaya pendekatan agama kepada mereka yang berjiwa lemah dan yang lainnya, supaya mereka bisa menerima dan mencari hukum-hukum syara’. Ini upaya yang wajib dilakukan. namun pendapat yang memberikan kemudahan tersebut harus memiliki dasar kuat yang menopangnya berupa nash atau qiyas atau pendapat imam ahli fikih yang diikuti.
Di antara contohnya adalah fatwa sebagian Ulama yang membolehkan seorang wanita bepergian haji dengan teman-teman yang dipercaya tanpa mahram. [3]
2. Kecenderungan untuk memperberat dan melarang tanpa memperhatikan maqâshid syari’at.
Dengan asumsi ini lebih hati-hati dan cocok dengan keadaan sebagian kaum Muslimin yang sering meremehkan dan tidak mau melaksanakan tugas-tugas syari’at. Terkadang sikap meremehkan ini pada akhirnya bisa menyeret seseorang meninggalkan aturan-aturan agama sama sekali.
Di antara contohnya adalah fatwa sebagian Ulama yang menyatakan tidak boleh melempar jumrah di malam hari, juga fatwa yang menyatakan bahwa bayi tabung hukum haram secara mutlak.
3. Berhujjah dengan fatwa sekelompok Ulama (al-Iftâ` al-Jamâ`i) dan merasa cukup denganya serta menjadikannya sebagai dalil tanpa merasa butuh dengan yang lain.
Yang dimaksud dengan al-Iftâ` al-Jamâ`i adalah semua fatwa dan ketetapan ataupun penjelasan dikeluarkan oleh sebagian al-Majâmi’ (konferensi) dan lajnah ilmiyah. Terkait dengan hal ini, ada beberapa point penting yang perlu diperhatikan:
a. Tidak disangsikan lagi bahwa fatwa yang bersumber dari banyak Ulama lebih pantas untuk diterima dibandingkan fatwa perorangan.
Perlu dibedakan antara fatwa yang dikeluarkan sebuah lajnah fatwa yang terdiri dari sejumlah mufti dengan ijma’ (kesepakatan-red) para ulama. Perlu diketahui juga bahwa ifta’ jama’i tidak bisa mencapai derajat ijma’, baik dari sisi kekuatan hujjahnya ataupun segi kesepakatannya. Sebab fatwa dari konferensi dan badan ilmiyah dunia tersebut adalah hasil pemikiran fikih yang dirangkai disusun dari berbagai penelitian, karya tulis dan sensus lapangan. Jelas ketetapan konferensi dengan tinjauan ini lebih baku dan teliti secara fikih daripada fatwa sekelompok Ulama. Fatwa sekelompok Ulama jelas – karena banyaknya mereka – memberikan perasaan lebih tenang dan tentram dibanding fatwa perorangan. Inilah tiga tingkatan fatwa kontemporer, yang tertinggi adalah ketetapan konferensi, kemudian fatwa sekelompok Ulama, kemudian fatwa perorangan.
b. Harus membedakan antara fatwa yang disampaikan mayoritas Ulama dengan adanya Ulama yang menyelisihinya dengan masalah Ijmâ’. Juga mengetahui bahwa fatwa sekelompok Ulama tidak sampai pada martabat ijmâ’ dalam peran sebagai hujjah dan kesepakatan.
c. Kelemahan fatwa secara berjama`ah kadang terjadi karena tekanan fihak tertentu dan biasanya tidak memiliki sarana iklan (penyampaian-red) yang sesuai.
d. Terkadang pendapat yang dikeluarkan konferensi (al-Majma’) adalah pendapat minoritas, walaupun dikeluarkan dengan kesepakatan mereka semuanya. Sebab tidak semua Ulama dunia bisa ikut serta dalam konferensi tersebut.
e. Di antara ide yang sering dilontarkan yaitu membentuk perkumpulan para Ulama dunia yang independen, tidak berada di bawah satu kekuatan atau satu pemerintahan. Perkumpulan ini yang akan mempelajari dan meneliti masalah-masalah kontemporer yang terjadi di tengah umat dengan tanpa tekanan dari fihak manapun.
1. Berhujjah dengan fatwa perorangan dan mengamalkannya serta pasrah kepadanya. Yang dimaksud dengan fatwa perorangan (al-Iftâ` al-Fardi) adalah fatwa dan ketetapan yang keluar dari seorang Ulama.
Dalam hal ini ada beberapa point penting:
·         Fatwa perorangan adalah penyempurna dan berasal dari fatwa kelompok (al-Iftâ al-Jamâ’i).
·         Kebenaran terkadang ada pada satu individu bukan pada mayoritas. Ini adalah perkara yang sudah ditetapkan oleh syara’ dan nyata.
·         Sebagian fatwa mufti tidak dianggap. Karena, terkenal suka meremehkan suatu permasalahan dan mengikuti hawa nafsu.
·         Pendapat seorang mufti atau lebih, kadang tersiarkan dan tersebar luas hingga orang menyangka ini adalah pendapat mayoritas, padahal sebenarnya tidak demikian.
Demikian sebagian kekeliruan yang nampak dalam banyak fatwa kontemporer, semoga menjadi pencerahan bagi kita semua.
Footnotes:
[1] Diangkat dari kitab Fikih Nawâzil 1/68-77.
[2] Fatâwa as-Sa’diyah hlm 189-190.
[3] Fatwa ini nampaknya memberikan kemudahan pada manusia, padahal sebenarnya malah sebaliknya, jika kita melihat kepadatan jamaah haji yang sangat beresiko menimbulkan berbagai bahaya bagi sebagian jamaah haji bahkan bisa menyebabkan kematian. Khususnya bagi mereka yang lemah seperti jompo, orang sakit dan wanita.
Dengan cara pandang ini, kalau ingin memberikan kemudahan bagi kaum wanita mestinya mereka dilarang berhaji tanpa ada mahram yang menjaga mereka. Dengan kata lain, bukankah pelarangan wanita berhaji tanpa mahram akan mengakibatkan berkurangnya kepadatan dan memperkecil jumlah jamaah haji?

RISALAH UNTUK PEDAGANG MUSLIM

Oleh : Abu Ukasyah Al-Cilacapiy





          Diantara bentuk rahmat Allah kepada para hamba-Nya ialah diperbolehkannya seorang hamba mengelola harta yang ia miliki serta mengembangkannya, karena harta merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kemashlahatan hidup manusia. Dengan harta, seorang hamba bisa melengkapi kebutuhan hidupnya, maka dari itulah kita melihat kebanyakan manusia berupaya untuk melipatgandakan harta yang ia miliki. Dan salah satu cara yang menjanjikan dalam mengembangkan harta dengan berlipatganda adalah menginvestasikan harta tersebut dimedan bisnis atau perniagaan. Karena kebutuhan yang sangat urgen inilah Allah -dengan rahmat-Nya yang luas- menghalalkan perniagaan sebagaimana yang termaktub didalam Al-Qur'an : "Artinya : "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah (2) : 275).

              Namun sangat disayangkan, ketika Islam sudah sedemikian rupa mengatur hukum-hukum yang berkaitan dengan mu'amalah maaliyah (Mu'amalah yang berkaitan dengan harta) masih saja sebagian kaum muslimin tidak mengindahkan hukum-hukum tersebut, akibatnya dilapangan masih banyak ditemui keculasan-keculasan dalam berniaga. Fenomena inilah yang mengundang perhatian kami untuk mengangkat tema ini, dimana kami merasa terpanggil untuk ikut andil dalam menjelaskan bagaimana selayaknya seorang muslim itu berniaga yang sesuai dengan syari'at. Mudah – mudahan sesuatu yang sedikit ini bisa bermanfaat khususnya bagi kaum muslimin yang secara langsung terjun didunia perniagaan.  

Adab Seorang Pedagang Muslim
            Berikut ini adalah adab-adab yang seyogyanya dimiliki oleh setiap pedagang muslim yang ingin mendapatkan keberkahan didalam perniagaannya :

1. Mempelajari fiqh mu'amalah dan perniagaan
            Wajib bagi seorang pedagang muslim mempelajari fiqh mu'amalah dan perniagaan, karena jika tidak demikian tentunya seorang pedagang muslim akan mudah terjerumus kedalam jual beli yang dilarang oleh Allah. Oleh sebab itulah Umar bin Khathab melarang orang - orang yang tidak mendalami fiqh perniagaan Islam untuk berjualan di pasar Madinah, beliau berkata : "Tidak boleh berjualan di pasar kami seorang yang tidak mendalami ilmu agama" (Kanzul Ummal 4/125).

2. Jujur dan amanah
            Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam bersabda :"Pedagang yang jujur lagi terpercaya kelak dihari kiamat bersama para nabi, shidiqin, dan syuhada" (HR. Tirmidzi No.1130, Daruquthniy (3/7), Darimiy No.2539. Dishahihkan oleh syaikh Albaniy).

3. Tidak menyembunyikan cacat barang
            Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam bersabda :"Sesama muslim adalah saling bersaudara, maka tidak halal bagi seorang muslim jika menjual suatu barang yang memiliki cacat kepada saudaranya kemudian tidak menerangkan cacatnya" (HR. Hakim No.2152, Thabraniy dalam Al-Kabiir (17/317), Ibnu Majah No.2237. Dishahihkan oleh syaikh Albaniy).

4. Tidak boleh menipu
            Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam bersabda :"Barangsiapa menipu kami maka bukan termasuk golongan kami" (HR. Muslim No.136, Ibnu Majah No.2216)

            5. Siap mengganti barang yang cacat
Termasuk hak konsumen apabila mendapati kecacatan pada barang yang telah ia beli untuk menukarnya dengan yang baik kepada penjual, walaupun penjual telah  mensyaratkan sebelumnya bahwa barang yang telah dibeli tidak boleh dikembalikan.  Lajnah Daimah (Komisi Fatwa Saudi Arabia) pernah ditanya tentang hukum ungkapan penjual "Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan atau ditukar" maka dijawab :"Tidak boleh hukumnya karena ia bukan syarat yang dibenarkan serta mengandung hal yang merugikan dan menyembunyikan hakikat yang sebenarnya, karena tujuan si penjual dengan syarat seperti itu adalah ingin memaksa pembeli menerima barang tersebut sekalipun ia cacat. Maka apa yang disyaratkannya tersebut tidaklah dapat membebaskan dirinya dari cacat-cacat yang terdapat di dalam barang tersebut kalau memang itu cacat, maka si pembeli berhak menukarnya dengan barang yang lain yang tidak cacat atau si pembeli mengambil kembali harga dari barang yang cacat tersebut". (Fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts No. 3577. Dikutip dari www.alsofwah.or.id dengan sedikit penyesuaian).

6. Tidak bersumpah palsu
Tidak boleh bagi seorang pedagang muslim untuk berdusta apalagi bersumpah palsu demi melariskan dagangannya, karena Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam telah memperingatkan kita akan bahayanya hal tersebut, beliau bersabda :"Tiga golongan yang tidak diajak bicara oleh Allah dihari kiamat tidak pula dilihat atau disucikan dan bagi mereka adzab yang amat pedih –Beliau mengulanginya tiga kali- maka berkatalah Abu Dzar :"Sungguh rugi dan sengsara, siapakah gerangan mereka wahai Rasulullah?" Beliau menjawab :"Orang yang musbil (Celananya dibawah mata kaki), orang yang mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu" (HR. Muslim No.154).

7. Tidak curang dalam menakar atau menimbang
Allah Azza Wa Jalla berfirman :"Artinya : "Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi" (QS. Al-Muthafifin (83) : 1-3).


Sistem Perniagaan Yang Dilarang Dalam Islam
            Berikut ini adalah beberapa contoh sistem perniagaan yang banyak diadopsi oleh masyarakat kita namun dilarang dalam Islam :

            1. Multilevel Marketing (MLM)
            Sistem ini merupakan sebuah sistem baru yang belum pernah dikenal sebelumnya, dimana skema dari sistem ini pada nantinya akan membentuk seperti sebuah piramida, lalu apa yang menyebabkan Multilevel Marketing itu dilarang :
a. Karena didalamnya terdapat unsur kedholiman, dimana minoritas level teratas (Up Line) akan selalu diuntungkan dengan adanya mayoritas level terbawah (Down Line) terlebih lagi tiga level terbawah yang sangat dirugikan. Karena sistem ini sangat mengacu pada pertambahan jumlah anggota (Member) jika ingin mendapat bonus (Point) yang diinginkan, sedangkan pertambahan anggota bukanlah sesuatu yang mudah, pasti suatu saat akan menemui titik jenuh (Saturasi), atau taruhlah pertambahan itu akan selalu ada, namun itu tetap akan berhenti dengan habisnya seluruh penduduk dunia yang telah menjadi anggota (Member), maka tetap tiga level terbawah yang belum mendapatkan (Point) akan selalu dirugikan dan ini adalah sebuah bentuk kedholiman dimana setiap orang menginginkan keuntungan pribadi dengan mengorbankan orang lain, padahal Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam bersabda :"Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian, sehingga mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana mencintainya untuk dirinya sendiri" (HR. Bukhari No.12, Muslim No.65).
b.   Barang atau produk yang dijual dengan sistem MLM biasanya cenderung lebih mahal 3 kali lipat dari harga yang wajar, hal ini disebabkan karena perusahaan MLM memberikan beban biaya tambahan yang digunakan sebagai sharing modal kepada pembeli yang sekaligus menjadi anggota (Member), mengingat pada nantinya member akan ikut memasarkan produk dan menerima keuntungan estafet. Maka berdasarkan hal ini sistem MLM mengandung unsur kesamaran antara akad jual beli, syirkah dan mudharabah, padahal Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam melarang hal ini, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah :"Rasulullah melarang dua akad dalam satu akad" (HR. Tirmidzi No.1152, Nasa'i No.4553. Dishahihkan oleh syaikh Albaniy)   
c.   Didalamnya terdapat unsur penipuan, dimana perusahaan MLM memberikan janji-janjinya kepada setiap orang yang ingin mejadi member dengan bonus-bonus yang terlihat menjanjikan, padahal sistem ini melazimkan bagi level yang terendah (Down Line) untuk rugi, maka seorang yang berakal sehat tentunya tidak ingin berspekulasi dengan sistem yang perbandingan antara untung dan rugi lebih besar ruginya. Coba bayangkan, apakah setiap orang itu bersedia menjadi member dalam sistem MLM ini? Kita ambil kemungkinannya dikota kita saja, apakah seluruh penduduk kota kita bersedia mengikuti sistem MLM ini dengan menjadi member? Taruhlah semuanya bersedia, maka hal ini mengharuskan orang-orang yang berada pada level terakhir -yang sangat banyak jumlahnya- untuk merekrut member di kota yang lain jika mereka menginginkan keuntungan dan seterusnya, tentunya ini angan-angan yang hampir mustahil terwujud.     
 
2. Menjual Dagangan Yang Belum Dimiliki
            Gambarannya adalah jika ada seseorang ingin membeli sebuah barang tertentu sedang si penjual belum memiliki barang tersebut saat itu, kemudian keduanya sepakat menentukan suatu harga atas barang tadi baik cash maupun tempo, namun barang tersebut masih belum ada dan dimiliki oleh si penjual, baru setelah kesepakatan selesai si penjual pergi mencari barang yang dimaksudkan. Maka ini adalah termasuk sistem jual beli yang dilarang oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam karena beliau telah bersabda :"Janganlah menjual barang yang tidak kau miliki" (HR. Abu Dawud No.3040, Ibnu Majah No.2178, Tirmidzi No.1153, Nasa'i No.4534. Dishahihkan oleh syaikh Albaniy).

            3. Merusak Transaksi Dagang Sesama Muslim
            Permisalannya adalah jika ada seseorang ingin membeli produk kepada salah satu pedagang, kemudian keduanya menentukan waktu khiyar (Masa transaksi) selama dua hari, maka pedagang lain tidak boleh ikut campur dengan mengatakan :"Jangan beli sama dia, beli saja sama saya, barangnya kan sama, mutunya juga lebih bagus punya saya dan harganya lebih murah lagi". Demikian juga pembeli tidak boleh membeli barang yang sedang ditawar oleh orang lain dengan mengatakan "Saya akan membelinya dengan harga yang lebih tinggi". Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam bersabda :"Tidak boleh menjual barang yang sedang ditawar oleh saudaranya kepada orang yang lainnya" (HR. Bukhari No.1995, Ibnu Majah No.2162)

            Demikianlah beberapa hal yang selayaknya diketahui oleh seorang pedagang muslim yang menginginkan keberkahan didalam perniagaannya. Dan hendaknya kita mengingat bahwa sesungguhnya perniagaan adalah salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menuju ke surga, betapa banyak orang yang masuk surga disebabkan kejujurannya dalam berniaga sebagaimana Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam bersabda :"Pedagang yang jujur lagi terpercaya kelak dihari kiamat bersama para nabi, shidiqin, dan syuhada" (HR. Tirmidzi No.1130,  Darimiy No.2539. Dishahihkan oleh syaikh Albaniy). Dan betapa banyak orang yang masuk neraka disebabkan karena kecurangannya dalam berniaga. Maka kita memohon taufiq kepada Allah Azza Wa Jalla semoga para pedagang muslim kita bisa berlaku jujur dan amanah didalam perniagaannya. Amiin…  Wallohu Ta'ala A'lamu Bisshowaab


Maraji' :
~ Al-Qur'an Al-Karim                                           ~ Sunan Darimiy
~ Shahih Bukhari                                                  ~ Sunan Daruquthny 
~ Shahih Muslim                                                  ~ Mu'jam Al-Kabir Thabraniy
~ Sunan Abu Dawud                                           ~ Kanzul Ummal
~ Sunan Tirmidzi                                                  ~ Al-Buyu' Al-Manhiy 'anha fil Islam
~ Sunan Nasa'i                                                      ~ Risaalah 'Ajilah ila Taajiril Muslim
~ Sunan Ibnu Majah                                          ~ Fiqh Wa Fatawa Al Buyu'
~ Mustadrak Hakim                                            ~ Siapa Bilang MLM Itu Haram

Menengok Sebuah Tradisi (Sebuah Tinjauan Syari'at Tentang Sedekah Laut)

Oleh : Abu Ukasyah Al-Cilacapiy



Kaum Muslimin Rahimakumullah
            Sungguh teramat pahit jika ada seseorang datang kepada kita dengan sebuah nasehat, terlebih lagi manakala nasehat tersebut bertolak belakang dengan apa yang kita yakini selama ini. Namun begitulah, ketika hal ini berkaitan dengan hak Allah Azza wa Jalla atas hamba-Nya maka tidak akan pernah merasa segan hati ini untuk melakukannya. Karena sangat miris kiranya, ketika melihat kaum muslimin masih melakukan tradisi dan ritual-ritual kesyirikan, manakala kita berusaha menasehati mereka, maka apa jawabnya? "Ah, tidak usah kamu mengusik urusan kami". Dan sebagian lainnya berkata :"Jadi orang jangan fanatik, hidup saja bermasyarakat tidak usah saling sikut". Dan banyak lagi jawaban yang senada dengan hal tersebut, aduhai jika saja mereka tahu apa balasan bagi orang-orang musyrik diakhirat sebagaimana tertuang didalam Al-Qur'an :
"Artinya: "Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun" (QS. Al-Maa'idah (5) : 72)
            Untuk itulah sebagai sumbangsih dari kami dalam rangka saling memberikan nasehat diantara kaum muslimin, maka kami memandang perlu untuk menjelaskan tentang hakikat sebuah tradisi sedekah laut yang setiap tahun diadakan dikota Cilacap yang tercinta ini. Mudah - mudahan Allah Tabaraka Wa Ta'ala memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Sejarah Sedekah Laut
             Tradisi sedekah laut ini bermula dari perintah Bupati Cilacap ke III Tumenggung Tjakrawerdaya III, yang memerintahkan kepada sesepuh nelayan Pandanarang bernama Ki Arsa Menawi untuk melarung sesaji kelaut selatan beserta nelayan lainnya pada hari Jum'at Kliwon bulan Syura (Muharram) tahun 1875, kemudian pada tahun 1983 tradisi ini diangkat sebagai atraksi wisata.
            Sebelum hari pelaksanaan upacara sedekah laut, biasanya didahului dengan prosesi nyekar ke Pantai Karang Bandung (Pulau Majethi) sebelah timur tenggara Pulau Nusa Kambangan. Kemudian ketika hari pelaksanaan upacara ini didahului dengan prosesi membawa Jolen Tunggul (Sesaji Utama) yang diringi arak-arakan Jolen-Jolen penggiring lainnya oleh para peserta prosesi dengan berpakaian adat  untuk dilarung kelaut lepas di Pantai Teluk Penyu Cilacap, yang bermula dari Pendopo Kabupaten Cilacap dengan berjalan kaki. Setibanya di Pantai Teluk Penyu maka Jolen-Jolen (Sesaji yang berisi kepala kerbau, jajanan pasar, bunga, kemenyan dsb) ini dipindahkan ke kapal nelayan untuk dibuang ketengah lautan dikawasan Pulau Majethi.

Timbangan Syari'at.
            Tidak ayal lagi bahwasanya tradisi tersebut adalah sebuah kesyirikan yang nyata, yang dibalut dengan nuansa budaya. Yang sangat besar kemungkinannya hal tersebut adalah akibat dari asimilasi antara agama Islam dengan ajaran Hindu & Budha yang masih melekat dihati masyarakat kala itu, yang kemudian hal ini diwariskan kepada anak cucu mereka hingga saat ini.
            Menurut keyakinan mereka Laut Selatan Jawa dikuasai dan diperintah oleh Nyi Roro Kidul yang mana mereka berharap dengan melarungkan sesaji kepadanya, hasil tangkapan nelayan pada tahun tersebut akan melimpah. Maka dengan ini mereka telah menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dari dua sisi :
1.      Dari sisi rububiyah  
a.       Dimana mereka berkeyakinan ada penguasa lain yang menguasai laut selain Allah, padahal Allah berfirman : "Artinya: "Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam". (QS. Al-A'raaf (7) : 54).
b.      Dimana mereka takut akan ditimpa kemudharatan dan bala bencana karena Penguasa Laut Selatan akan marah apabila mereka tidak melakukan ritual tersebut. Allah berfirman : "Artinya: " Katakanlah: "Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfaat?" Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (QS. Al-Maa'idah (5) : 76)
2.      Dari sisi uluhiyah 
a.       Dimana mereka berkorban dan beribadah kepada selain Allah, padahal Allah berfirman : "Artinya: "Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam". (QS. Al-An'aam (6) :162)
b.      Jika mereka berdalih bahwa hal itu hanyalah sebagai wasilah atau perantara untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah, maka mereka telah bertawasul (Mencari perantara) dengan kesyirikan. Karena hal tersebut tidak ubahnya seperti alasan kaum musyrikin Arab pada zaman Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam. Allah berfirman :"Artinya: "Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya." (QS. Az-Zumar (39) : 3)

Ancaman Bagi Pelaku Kesyirikan
            Sesungguhnya orang-orang musyrik yang mati dengan membawa dosa syirik, Allah tidak akan mengampuni dosa mereka bahkan mereka kekal didalam neraka selama-lamanya, sebagaimana Allah berfirman : "Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar". (QS. An-Nissa (4) : 48)
            Maka barangsiapa yang mengadakan ritual-ritual seperti diatas, dia akan mendapatkan ancaman  dari ayat tadi yaitu kekal dibakar didalam neraka selama-lamanya. Kecuali orang yang bertaubat serta meninggalkan kesyirikan dan meninggal dunia diatas tauhid, maka ia dijamin masuk surga, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam : "Barangsiapa menemui Allah dalam keadaan tidak mempersekutukan-Nya sedikitpun maka pasti masuk surga, dan barangsiapa menemui Allah dalam keadaan musyrik maka pasti masuk neraka" (HR. Muslim No.136)
            Maka tidak ada pilihan lain bagi kita selain meninggalkan semua perbuatan syirik tersebut, jika kita ingin selamat dari adzab yang sangat pedih. Dan jangan sampai kita menyesal –waliyyadzubillah- dengan penyesalan orang-orang musyrik ketika dibakar didalam neraka. Allah berfirman : "Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti (kesyirikan): "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka". (QS. Al-Baqarah (2) : 167)

Hukum Meramaikan Acara Kesyirikan
            Syaikh Muhammad bin Utsaimin ditanya tentang hukum berpartisipasi pada perayaan non muslim -termasuk didalamnya perayaan kesyirikan- beliau menjawab : "Berpartisipasi -termasuk menonton- dalam perayaan non muslim -atau perayaan kesyirikan- adalah tidak boleh. Karena didalamnya terdapat unsur tolong-menolong didalam dosa dan kemungkaran, sedang Allah berfirman :"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya". (QS. Al-Maa'idah (5) : 2). Dan karena perayaan ini adalah hari dimana mereka merayakan kepercayaannya, maka keikutsertaan kita didalamnya melazimkan kita untuk mengakui kebenaran dari kepercayaan tersebut dan ridho atasnya". (Lihat Fatawa Syaikh Utsaimin Fil Aqidah (2 / 1363-1364) Dar Tsuraya. Dengan sedikit penyesuaian). 


Maraji'
- Al-Qur'an Al-Karim
- Shahih Muslim – Mak. Syamila
- At-Tauhid Lisshofil Awal Al-'Ali
- Kitabut Tauhid
- Fatawa Syaikh Utsaimin Fil Aqidah
- BanyumasNews.Com