Rabu, 10 Juli 2013

Kekeliruan Yang Muncul Dalam Fatwa Kontemporer

Oleh : Ustadz Khalid Syamhudi



Allah Ta’ala menutup dakwah para Rasul dengan dakwah Rasulullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah Ta’ala memenangkan risalah beliau hingga hari kiamat nanti. Allah Ta’ala ciptakan generasi Sahabat dan Tabi’in yang bertugas menegakkan hujjah kepada manusia. Juga memerintahkan mereka untuk menjaga syariat Islam dan ber-tafaqquh fiddîn (belajar ilmu agama). Allah Ta’ala berfirman:

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَٰكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitâb dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
 (Qs. Ali Imrân/3:79)

Allah Ta’ala juga berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi Mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. 
(Qs at-Taubah/9:122)

Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala membagi mereka menjadi dua kelompok. Salah satunya diperintahkan untuk berjihad di jalan-Nya dan yang lainnya diperintahkan menuntut ilmu agama, agar kaum Muslimin dapat merujuk dan bertanya kepada mereka tentang berbagai permasalahan dien; Termasuk dalam permasalahan kontemporer (nawâzil) yang terjadi di kalangan kaum Muslimin. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
(Qs. an-Nahl/16:43)

Syarat Berfatwa Dalam Nawâzil
Tidak dipungkiri lagi ijtihâd para Ulama dalam memberikan fatwa pada masalah kontemporer (Nawâzil) sangat dibutuhkan umat ini. Apalagi permasalahan kontemporer (Nawâzil) sangat banyak dan terus bermunculan. Namun tentunya, yang bisa berbicara untuk memutuskan permasalahan ini hanyalah para ulama yang memenuhi syarat, di antaranya:
1.      Seorang mujtahid (ahli ijtihad/memiliki kemampuan untuk berijtihad-red), walaupun bukan mujtahid mutlak dan hanya bisa berijtihad dalam sebagian bidang ilmu.
2.      Harus memiliki gambaran jelas dan pemahaman yang benar terhadap permasalahan yang akan dijadikan sebagai obyek ijtihadnya.
3.      Dalam menetapkan hukum, dia bersandar pada dalil syar’i yang mu’tabar (yang dibenarkan).
Beberapa Kekeliruan yang Sering Ditemui Dalam Fatwa Kontemporer
Para Ulama yang berfatwa dalam masalah Nawâzil terkadang keliru walaupun secara kuantitas tiga syarat di atas sudah terpenuhi. Kekeliruan tersebut bertingkat-tingkat, tidak sama, ada yang jelas dan ada yang samar. Berikut ini beberapa kekeliruan yang samar dalam fatwa nawazil:
1. Penguraian permasalahan ke dalam elemen-elemen pembentuknya dengan memberikan hukum khusus satu persatu tanpa melihat hasil yang ada apabila digabung dan disusun.
Sebagai contoh: Jual beli murâbahah. (Apa itu murabahah – nusadi?) (jual beli) yang tersusun dari tiga akad yaitu akad wakâlah (perwakilan), akad Muwâ’adah bisy-Syirâ’ (janji membeli) dan akad jual beli kredit. Ketiga akad ini sah dan dibenarkan. Berdasarkan hal ini maka jual beli murâbahah adalah akad yang shahîh.
Inilah yang disampaikan orang yang mensahkan jual beli ini, tanpa menengok kepada pengertian baru yang muncul ketika ketiga akad itu disatukan.
Sedangkan Ulama yang melarangnya, berpendapat bahwa walaupun jual beli murâbahah ini terbentuk dari tiga akad tersebut, namun keadaan dan faktor pendorong pengadaan dan penyebarannya menunjukkan akad ini salah satu diantara upaya merekayasa riba.
Karena penjual -yaitu bank pembiaya- ingin meminjamkan uang kepada pembeli dengan mendapatkan profit (bunga), demikian juga pembeli, dia ingin meminjam uang dari bank dengan memberi bunga. Barang yang ada hanya dijadikan rekayasa hingga berubah bentuk menjadi pinjaman dengan bunga yang kemudian dinamakan jual beli murâbahah.
Contoh lainnya: Fatwa sebagian Ulama tentang al-Ijârah al-Muntahiyah bit-tamlîk (finance leasing). Ada yang menyatakannya sebagai adalah akad yang sah, karena tersusun dari ijârah (sewa menyewa), jual beli (Bai’) atau pemberian (Hibah). Ijârah jelas disepakati kebolehannya. Kemudian apabila masa ijârah (sewa menyewa) telah selesai, maka pemilik barang memiliki kebebasan penuh untuk menjual barangnya atau menghibahkannya kepada siapa yang ia sukai atau tetap menahan barang itu sebagai miliknya. Tidak ada yang mampu mencegah pemilik barang dari kebebasannya mengelola barang miliknya, mau dijual atau dihibahkan.
Bukan maksud di sini memaparkan pendapat yang membolehkan atau yang melarang dalam masalah ini atau lainnya. Tetapi hanya mengingatkan tentang pentingnya mengkompromikan antara tinjauan secara menyeluruh (an-Nazhar al-Kulli al-Ijmâli) dengan tinjauan secara rinci (an-nazhar al-Juz’i at-tafshîli) ketika hendak menetapkan satu hukum pada sebuah nawazil. Juga hendak menjelaskan bahwa membatasi hanya dengan salah satu sisi tinjauan saja dapat menjerumuskan pada kesalahan.
Sudah menjadi kewajiban seorang ulama ahli fikih untuk melihat dengan teliti permasalahan dan akad transaksi kontemporer dan memahami hakekatnya serta meninjau akibat yang ditimbulkannya.
2. Berkelit dari realita.
Banyak mufti yang apabila ditanya tentang masalah kontemporer, dia menjawab dengan menerangkan hukum masalah tersebut dari sisi hukum asal, kemudian menyampaikan syarat-syarat hukumnya. Padahal pada kenyataannya syarat tersebut sangat sulit dilaksanakan.
Contoh: Sebagian mufti (ahli fatwa) ketika ditanya tentang hukum finance leasing (al-Ijâr al-Muntahiyah bit-Tamlîk) menjawab bahwa itu boleh. Tetapi penanya melanjutkan lagi bahwa mereka mengharuskan asuransi. Maka sang mufti menjawab: jangan kamu setuju dengan asuransinya; ambil saja mobilnya tanpa asuransi dan asuransinya tidak mengikat.
Mufti ini seharusnya memperjelas gambaran yang ada dalam praktek. Semua finance leasing (ijârah al-muntahiyah bit-Tamlîk) dalam praktek ternyata berisi asuransi.
Semestinya ia menjelaskan, finance leasing dengan syarat mengikuti asuransi itu boleh atau tidak ? kemudian setelah itu dia bisa memberikan penjelasan tambahan bahwa finance leasing itu boleh dilakukan bila sudah memenuhi beberapa syarat. Dilanjutkan dengan penjabaran syarat-syarat tersebut. Bila syarat-syarat tersebut dilanggar, maka hukumnya begini dan begitu.
Contoh lain: Seorang ditanya tentang hukum berpartisipasi dalam kompetisi sepak bola, lalu dia menjawab bahwa pada asalnya hal itu diperbolehkan, kecuali bila terdapat hal-hal yang larangan syari’at.
Perhatikanlah jawaban ini, tidak sesuai dengan pertanyaannya. Pertanyaan penanya tersebut tidak lepas dari realita yang terlihat di lapangan. Kompetisi ini tidak lepas dari berbagai pelanggaran syari’at seperti membuang-buang waktu, membuka aurat, kerusakan akhlak, menghabiskan umur dan membuang-buang harta. Hal-hal ini jelas bertentangan dengan maqâshid syari’at (tujuan syariat) dari banyak sisi.
Kemudian juga, si penanya tidak menanyakan hukum asal. Seandainya si penanya menanyakan hukum asal, maka si mufti seharusnya mengingatkan si penanya tentang realita yang terjadi di lapangan setelah menjelaskan hukum asalnya.
Kesimpulannya seorang mufti sebaiknya tidak menjawab dengan cara di atas dan berusaha untuk memperhatikan dua perkara:
·         Menjelaskan bentuk realitanya dan tidak lupa menjelaskan hukumnya; karena tidak menjelaskan kenyataan atau berkelit darinya adalah kekeliruan yang berbahaya.
·         Menyampaikan hukum asal dengan penjelasan ketentuan dan syarat-syarat yang mencakup kemungkinan bentuk-bentuk lain dari yang telah ada dan yang akan ada.
Fatwa yang memenuhi dua hal ini akan menjadi lebih jelas dan baku.
1. Permasalahan istilah dan bahasa yang umum.
Merupakan satu keniscayaan ketika hendak menetapkan hukum terhadap satu masalah kontemporer untuk melihat hakekat permasalahannya, tidak silau dengan nama-nama atau pun istilahnya. Karena hukum syara’ hanya berhubungan dengan hakekat dan pengertian, bukan dengan lafadz dan susunan kata.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa bermain dengan istilah-istilah agama menjadi fenomena pada banyak transaksi-transaksi yang tidak benar dewasa ini. Buktinya, bila menilik seluruh transaksi yang muncul dari bank-bank syari’at atau konvensional, tidak ada pelayanan yang menggunakan nama riba secara terang-terangan. Namun, apakah ini menunjukkan bahwa seluruh transaksi tersebut bebas dari riba?
Perhatikanlah pula pengorbanan dan keberanian yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin Palestina yang lemah saat berhadapan dengan orang-orang yahudi, musuh kaum Muslimin. Sebagian mereka menamakannya ‘amaliyah istisyhadiyyah (usaha untuk mendapatkan mati syahid-red), sementara sebagian yang menamainya dengan ‘amaliyah intihariyyah (perbuatan bunuh diri-red).
Padahal setiap penamaan memiliki makna tersendiri. Yang menjadi problem dalam pemberian nama yaitu ketika tidak peduli dengan makna dan kandungan nama itu. Tidak logis, kalau kita menghukumi perbuatan diatas dengan hukum haram sementara pada saat yang sama kita menamainya dengan ‘amaliyah istisyhadiyyah. Sebaliknya, bagaimana bisa perbuatan itu dihukumi sesuai dengan syari’at, sementara dia digelari ‘amaliyah intihariyyah. Kaedah baku dan standar dalam hal ini adalah sedapat mungkin menggunakan nama-nama syar’i dalam penamaan seluruh perkara.
Namun bila ada permasalahan yang baru dan tidak ada nama yang syar’i untuknya, maka wajib menamainya dengan nama yang dikenal secara bahasa, yang pas dan yang menunjukkan hakekat permasalahan tersebut.
2. Tidak cermat dalam melihat perkembangan dan perubahan nawâzil.
Ini termasuk kesalahan karena hakekat nawâzil terkadang mengalami sedikit perubahan dan pergeseran. Perubahan ini terkadang merubah hakekat nawâzil secara keseluruhan dari hakekat sebelumnya. Meski terjadi perubahan, namun istilah nawâzil tetap melekat pada keduanya, baik seblum ataupun setelah terjadi perubahan.
Memberikan fatwa hanya berdasarkan gambaran pertama dari suatu permasalahan pada suatu kejadian akan melahirkan tashawwur (gambaran) yang keliru dan kesalahan dalam memahaminya (miss understanding).
Kalau demikian, orang yang ingin memahami kejadian tersebut secara sempurna, sudah seharusnya terus meng-update informasi tentangnya. Khususnya pada zaman ini, dimana perubahan itu begitu cepat terjadi.
Sudah dimaklumi bahwa sebuah fatwa bisa berubah seiring dengan perubahan waktu, tempat dan keadaan serta adat yang berlaku. Dari sini sudah seharusnya seorang mufti memperhatikan waktu, tempat, kondisi dan keadaan yang berhubungan dengannya, serta adat yang berlaku dalam hukumnya terhadap satu permasalahan kontemporer.
Untuk itu, kewajiban mufti dalam urusan kontemporer ini adalah menjelaskan bentuk masalahnya dan hukumnya serta memberikan batasan hukum terhadap masalahnya secara khusus, serta memperhatikan sumber hukumnya. Akan lebih baik lagi bila diberikan tanggal keluarnya fatwa tersebut.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah sikap Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’dirahimahullah dalam salah satu fatwanya. Beliau rahimahullah menyampaikan, sebagian Ulama terdahulu telah berfatwa bahwa seorang wanita apabila meninggal dunia dalam keadaan mengandung bayi yang masih hidup, maka dilarang membedah perutnya untuk mengeluarkan bayinya. Karena ini termasuk al-mutslah (merusak jenazah/mayat). Kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan komentar : “Namun pada masa-masa terakhir ini, ilmu bedah telah berkembang pesat dan akhirnya membedah perut atau sebagian anggota badan tidak lagi dianggap al-mutslah. Mereka bisa melakukannya terhadap orang yang masih hidup dengan keridhaan dan keinginan terhadap beraneka ragam sistem pengobatan. Sehingga saya cenderung seandainya para ahli fikih terdahulu menyaksikan keadaan ini tentu mereka akan memperbolehkan membedah perut orang hamil, dengan sebab keberadaan bayinya yang masih hidup dan demi mengeluarkannya. Khususnya bila masa hamil sudah usai dan diketahui atau besar kemungkinan bayinya akan bisa diselamatkan.”
Setelah menyampaikan kecenderungan beliau, syaikh Abdurrahman Nashir as-sa’di rahimahullah mengatakan: “al-mutslah yang mereka jadikan sebagai alasan untuk melarang tindakan ini menunjukkan asumsi ini.” [2]

1. Cenderung mempermudah dan meringankan fatwa, tanpa memperhatikan maqâshid syari’at.
Anggapan mereka bahwa inilah yang paling sesuai dengan keadaan manusia di zaman ini. Karena (kebanyakan-red) manusia saat ini tidak lagi berpegang teguh dengan hukum-hukum agama dan sibuk dengan gemerlap kehidupan. Untuk itu, harus dilakukan upaya pendekatan agama kepada mereka yang berjiwa lemah dan yang lainnya, supaya mereka bisa menerima dan mencari hukum-hukum syara’. Ini upaya yang wajib dilakukan. namun pendapat yang memberikan kemudahan tersebut harus memiliki dasar kuat yang menopangnya berupa nash atau qiyas atau pendapat imam ahli fikih yang diikuti.
Di antara contohnya adalah fatwa sebagian Ulama yang membolehkan seorang wanita bepergian haji dengan teman-teman yang dipercaya tanpa mahram. [3]
2. Kecenderungan untuk memperberat dan melarang tanpa memperhatikan maqâshid syari’at.
Dengan asumsi ini lebih hati-hati dan cocok dengan keadaan sebagian kaum Muslimin yang sering meremehkan dan tidak mau melaksanakan tugas-tugas syari’at. Terkadang sikap meremehkan ini pada akhirnya bisa menyeret seseorang meninggalkan aturan-aturan agama sama sekali.
Di antara contohnya adalah fatwa sebagian Ulama yang menyatakan tidak boleh melempar jumrah di malam hari, juga fatwa yang menyatakan bahwa bayi tabung hukum haram secara mutlak.
3. Berhujjah dengan fatwa sekelompok Ulama (al-Iftâ` al-Jamâ`i) dan merasa cukup denganya serta menjadikannya sebagai dalil tanpa merasa butuh dengan yang lain.
Yang dimaksud dengan al-Iftâ` al-Jamâ`i adalah semua fatwa dan ketetapan ataupun penjelasan dikeluarkan oleh sebagian al-Majâmi’ (konferensi) dan lajnah ilmiyah. Terkait dengan hal ini, ada beberapa point penting yang perlu diperhatikan:
a. Tidak disangsikan lagi bahwa fatwa yang bersumber dari banyak Ulama lebih pantas untuk diterima dibandingkan fatwa perorangan.
Perlu dibedakan antara fatwa yang dikeluarkan sebuah lajnah fatwa yang terdiri dari sejumlah mufti dengan ijma’ (kesepakatan-red) para ulama. Perlu diketahui juga bahwa ifta’ jama’i tidak bisa mencapai derajat ijma’, baik dari sisi kekuatan hujjahnya ataupun segi kesepakatannya. Sebab fatwa dari konferensi dan badan ilmiyah dunia tersebut adalah hasil pemikiran fikih yang dirangkai disusun dari berbagai penelitian, karya tulis dan sensus lapangan. Jelas ketetapan konferensi dengan tinjauan ini lebih baku dan teliti secara fikih daripada fatwa sekelompok Ulama. Fatwa sekelompok Ulama jelas – karena banyaknya mereka – memberikan perasaan lebih tenang dan tentram dibanding fatwa perorangan. Inilah tiga tingkatan fatwa kontemporer, yang tertinggi adalah ketetapan konferensi, kemudian fatwa sekelompok Ulama, kemudian fatwa perorangan.
b. Harus membedakan antara fatwa yang disampaikan mayoritas Ulama dengan adanya Ulama yang menyelisihinya dengan masalah Ijmâ’. Juga mengetahui bahwa fatwa sekelompok Ulama tidak sampai pada martabat ijmâ’ dalam peran sebagai hujjah dan kesepakatan.
c. Kelemahan fatwa secara berjama`ah kadang terjadi karena tekanan fihak tertentu dan biasanya tidak memiliki sarana iklan (penyampaian-red) yang sesuai.
d. Terkadang pendapat yang dikeluarkan konferensi (al-Majma’) adalah pendapat minoritas, walaupun dikeluarkan dengan kesepakatan mereka semuanya. Sebab tidak semua Ulama dunia bisa ikut serta dalam konferensi tersebut.
e. Di antara ide yang sering dilontarkan yaitu membentuk perkumpulan para Ulama dunia yang independen, tidak berada di bawah satu kekuatan atau satu pemerintahan. Perkumpulan ini yang akan mempelajari dan meneliti masalah-masalah kontemporer yang terjadi di tengah umat dengan tanpa tekanan dari fihak manapun.
1. Berhujjah dengan fatwa perorangan dan mengamalkannya serta pasrah kepadanya. Yang dimaksud dengan fatwa perorangan (al-Iftâ` al-Fardi) adalah fatwa dan ketetapan yang keluar dari seorang Ulama.
Dalam hal ini ada beberapa point penting:
·         Fatwa perorangan adalah penyempurna dan berasal dari fatwa kelompok (al-Iftâ al-Jamâ’i).
·         Kebenaran terkadang ada pada satu individu bukan pada mayoritas. Ini adalah perkara yang sudah ditetapkan oleh syara’ dan nyata.
·         Sebagian fatwa mufti tidak dianggap. Karena, terkenal suka meremehkan suatu permasalahan dan mengikuti hawa nafsu.
·         Pendapat seorang mufti atau lebih, kadang tersiarkan dan tersebar luas hingga orang menyangka ini adalah pendapat mayoritas, padahal sebenarnya tidak demikian.
Demikian sebagian kekeliruan yang nampak dalam banyak fatwa kontemporer, semoga menjadi pencerahan bagi kita semua.
Footnotes:
[1] Diangkat dari kitab Fikih Nawâzil 1/68-77.
[2] Fatâwa as-Sa’diyah hlm 189-190.
[3] Fatwa ini nampaknya memberikan kemudahan pada manusia, padahal sebenarnya malah sebaliknya, jika kita melihat kepadatan jamaah haji yang sangat beresiko menimbulkan berbagai bahaya bagi sebagian jamaah haji bahkan bisa menyebabkan kematian. Khususnya bagi mereka yang lemah seperti jompo, orang sakit dan wanita.
Dengan cara pandang ini, kalau ingin memberikan kemudahan bagi kaum wanita mestinya mereka dilarang berhaji tanpa ada mahram yang menjaga mereka. Dengan kata lain, bukankah pelarangan wanita berhaji tanpa mahram akan mengakibatkan berkurangnya kepadatan dan memperkecil jumlah jamaah haji?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon kesediaannya untuk menggunakan kata - kata yang santun